Kamis, 22 Maret 2012

CinTaH (Cinta, Takut dan Harap)

Ketiga kata yang disebutkan dalam judul di atas merupakan kata-kata yang diri kita, hati kita tidak akan lepas darinya. Baik ketika kita masih kecil, menjelang usia muda bahkan ketika kita tua. Namun terkadang kita salah mengartikan dan menyalurkan ketiga hal di atas dengan sesuatu yang terlarang dalam agama. Oleh karena itu menjadi suatu hal yang selayaknya kita tahu ketiga hal di atas dengan benar, untuk itulah mari kita luangkan sejenak waktu kita untuk mempelajari sekelumit tentangnya. 

Makna Cinta
Ibnul Qoyyim rohimahullah menyebutkan dalam kitabnya Roudhotul Muhibbin[1]bahwa paling tidak ada sekitar 60 kata dalam bahasa arab yang digunakan untuk mengungkapkan makna cinta dan beliau menyebutkan 50 diantaranya. Demikian juga sebagaimana namanya cinta juga memilki berbagai macam tingkatan diantaranya[2], 
[1] Al Alaaqoh/hubungan, cinta disebut demikian karena adanya keterkaitan hati orang yang mencintai dan orang yang dicintai. 
[2] Shobaahah/kerinduan, cinta disebut demikian karena tertuangnya hati orang yang mencintai kepada orang yang dicintai. 
[3] Al Ghorom/cinta yang menyala-nyala, cinta disebut demikian karena rasa cinta yang menetap di dalam hati orang yang mencintai dan tidak terpisahkannya perasaan itu darinya. 
[4] Al ‘Isyqu/mabuk asmara, yaitu cinta yang berlebihan. 
[5] Asy Syauq/sangat rindu, yaitu berkelananya hati orang yang mencintai menuju sesuatu yang dicintai. 
[6] At Tatayyum/penghambaan, yaitu penghambaan orang yang mencintai terhadap yang dicintai. Tingkatan terakhir ini merupakan tingkatan kecintaan yang paling tinggi. Adapun mahabbah maka ia merupakan salah satu kata yang digunakan orang arab untuk mengungkapkan cinta yang artinya luapan dan gejolak hati saat dirundung keinginan bertemu dengan sang kekasih.

Cinta adalah Salah Satu Sebab Perbuatan dan Gerakan 
Cinta dan keinginan merupakan asal/sebab setiap perbuatan/amal dan gerakan di alam semesta ini, kedua hal itulah yang mengawali segala perbuatan dan gerakan sebagaimana benci dan rasa ketidaksukaan adalah asal/sebab yang mengawali seseorang untuk meninggalkan dan menahan diri dari sesuatu[3].  
Demikianlah cinta ia mampu membangkitkan jiwa, menggerakkan hati dan badan jika disebutkan sesuatu yang dicintainya walau yang disebutkan hanya nama sesuatu yang dicintainya tersebut karena rindu yang mendalam kepada yang dicintainya. Hal ini terlihat pada keadaan para pencinta wanita ketika disebutkan nama wanita yang dicintainya demikian pula pada para pencinta dunia dan lain-lain. 
Hal ini terlihat pula pada para pencinta Allah dan RosulNya ketika nama keduanya atau hal yang berhubungan dengan keduanya disebutkan pada saat dibacakan Al Qur’an. Namun ketahuilah para pembaca ’’yang semoga Allah merahmati kita semua’’ seluruh kecintaan di atas adalah cinta yang bathil kecuali kecintaan kepada Allah dan konsekwensi dari kecintaan kepadaNya yaitu cinta kepada Rosul, Al Qur’an dan para kekasih Allah dari orang-orang yang beriman dan bertaqwa kepada Allah. Maka kecintaan yang demikianlah yang abadi dan abadi pula buahnya sesuai dengan abadinya ketergantungan orang tersebut kepada Allah. Keutamaan cinta ini atas kecintaan kepada yang lain sama dengan keutamaan orang yang bergantung kepada Allah atas orang yang bergantung kepada selainNya. Jika hubungan orang yang saling mencintai dan saling menggantungkan hati itu terputus maka terputus pulalah sebab-sebabnya sehingga yang abadi adalah kecintaan kepada Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman

إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ

“Ketika orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala asbab antara mereka terputus sama sekali”. (QS. Al Baqoroh [2] : 166). 
Al Asbab (الْأَسْبَابُ) dalam ayat ini dimaknai oleh Ibnu Abbas sebagai kecintaan sebagaimana yang diriwayatkan melalui Atho’[4].

Cinta adalah Dasar, Kesempurnaan dan Kelengkapan dalam Ibadah
Ibnul Qoyyim rohimahullah menyebutkan bahwa dasar ibadah, kesempurnaan serta kelengkapannya adalah cinta. Karena itulah seorang hamba tidak boleh mempersekutukan Allah dalam kecintaan kepada selainNya[5].  
Bahkan dua kalimat yang seseorang tidak akan masuk islam kecuali dengannya yaitu dua kalimat syahadat tidaklah sah jika seseorang yang mengucapkannya kecuali dengan rasa cinta, artinya rasa cinta merupakan salah satu syarat diterima kalimat syahadat seseorang[6]. Dalilnya adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ

“Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah (melebihi cinta orang musyrik kepada berhala mereka)”. (QS. Al Baqoroh [2] : 165). 
Bahkan hakikat peribadatan adalah menghinakan diri dan tunduk kepada yang dicintai. Dengan kata lain yang dinamakan hamba adalah orang yang dihinakan oleh rasa cinta dan ketundukan kepada sesuatu yang dicintai. Oleh karena itulah tingkatan yang paling mulia bagi seorang hamba adalah penghambaan kepada yang dicintainya. Lihatlah betapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mahlukNya yang paling mulia dan paling dicintaiNya yaitu Rosulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi was sallam dengan sebutan hamba. Sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla ketika memperjalankan beliau untuk bertemu langsung dengan Allah di langit yang tidak ada satu Nabi dan Rosulpun yang Allah muliakan dengan hal itu,

سُبْحَانَ الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Maha Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya  agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS. Al Isro’ [17] : 1)[7].

4 Cinta yang Harus Dibedakan
Terdapat 4 macam cinta yang harus dibedakan, sebab orang yang tidak membedakannya pasti akan tersesat kerenanya. 
[1] Mahabbatullah/cinta kepada Allah. Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah dan mendapatkan pahalaNya. Sebab kaum musyrikin, penyembah salib dan yahudi juga mencintai Allah[8]. 
[2] Mahabbatu maa yuhibbullah/mencintai perkara yang Allah cintai. Hal inilah yang memasukkan pelakunya ke dalam islam dan mengeluarkannya dari kekafiran. 
[3] Al Hubb lillah wa fillah/mencintai karena Allah dalam keta’atan kepadaNya. Hal ini merupakan konsekwensi dari mencintai perkara yang Allah cintai. Sungguh mencintai sesuatu tidaklah akan benar-benar terwujud kecuali dengan mencintai hal itu karena Allah dan dalam keta’atan kepadaNya. 
[4] Al Mahabbatu ma’allah/mencintai selain Allah bersama Allah. Ini adalah kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah. Barangsiapa yang mencintai sesuatu bersama Allah bukan karena Allah, bukan sebagai sarana kepada kecintaan pada Allah dan bukan dalam keta’atan kepadaNya maka dia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah. Seperti inilah kecintaan kaum musyrikin. 
[5] Al Mahabbatu ath Thobi’iyah/cinta yang sejalan dengan tabi’at. Cinta ini bentuknya berupa kecenderungan seseorang terhadap perkara yang sesuai dengan tabi’atnya seperti seseorang yang haus mencintai air, seseorang yang lapar mencintai makanan, seseorang yang mencintai tidur ketika mengantuk, seseorang suami dan ayah mencintai istri dan anak dan seterusnya.  
Kecintaan jenis ini tidaklah tercela selama kecintaan tersebut tidak melalaikan dari mengingat Allah (ibadah) dan menghambat kesibukan hamba dalam mencintai Allah

Semisal seorang yang karena cintanya kepada anaknya menyebabkan ia lalai dari sholat jama’ah karena bekerja untuk memberi nafkah anaknya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ

“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Munafiqun [63] : 9).[9] 
Jika demikian celaan Allah pada hal-hal yang mubah maka bagaimanakah celaan Allah terhadap kecintaan seseorang terhadap perkara yang haram semisal seorang pemuda yang mencintai pacarnya[10] apalagi jika kecintaan ini mengahalanginya dari ibadah kepada Allah, semisal melalaikan sholat jama’ah. Maka tentulah celaan Allah untuk orang yang demikian bertumpuk-tumpuk banyaknya.

Perkara yang Dicintai [11] 
Perkara yang dicintai terdiri dari dua hal :
[1] Perkara yang dicintai karena dirinya sendiri.
[2] Perkara yang dicintai karena yang lain.

Tidak ada suatu apapun yang berhak untuk dicintai karena dirinya sendiri kecuali Allah ‘Azza wa Jalla semata. Segala sesuatu yang dicintai selain Allah hanyalah karena mengikuti kecintaan kepada Allah, seperti kecintaan kepada para malaikat, para Nabi, orang-orang yang beriman dan bertaqwa, maka kecintaan tersebut hanya mengikuti kecintaan kepada Allah. Perkara ini merupakan sebuah perkara yang wajib untuk diperhatikan dan dibedakan karena ia adalah pembeda kecintaan yang bermanfaat dan yang tidak bermanfaat/membahayakan.  
Adapun perkara yang dicintai karena yang lain maka hal ini dapat dibagi menjadi dua : 
[1] Perkara yang mendatangkan kenikmatan bagi seseorang yang mencintainya, dengan cara mengetahui dan memperolehnya. 
[2] Perkara yang mendatangkan penderitaan bagi seseorang yang mencintainya tetapi ia tetap bertahan menanggungnya karena hal itu mengantarkan kepada perkara yang dicintainya. 
Hal ini sebagaimana meminum obat-obatan dan perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,

كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ

“Diwajibkan atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu, dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al Baqoroh [2] : 216).

Tidak ada komentar: