Ketiga
kata yang disebutkan dalam judul di atas merupakan kata-kata yang diri
kita, hati kita tidak akan lepas darinya. Baik ketika kita masih kecil,
menjelang usia muda bahkan ketika kita tua. Namun terkadang kita salah
mengartikan dan menyalurkan ketiga hal di atas dengan sesuatu yang
terlarang dalam agama. Oleh karena itu menjadi suatu hal yang selayaknya
kita tahu ketiga hal di atas dengan benar, untuk itulah mari kita
luangkan sejenak waktu kita untuk mempelajari sekelumit tentangnya.
Makna Cinta
Ibnul
Qoyyim rohimahullah menyebutkan dalam kitabnya Roudhotul
Muhibbin[1]bahwa paling tidak ada sekitar 60 kata dalam bahasa arab yang
digunakan untuk mengungkapkan makna cinta dan beliau menyebutkan 50
diantaranya. Demikian juga sebagaimana namanya cinta juga memilki
berbagai macam tingkatan diantaranya[2],
[1] Al Alaaqoh/hubungan, cinta disebut demikian karena adanya keterkaitan hati orang yang mencintai dan orang yang dicintai.
[2] Shobaahah/kerinduan, cinta disebut demikian karena tertuangnya hati orang yang mencintai kepada orang yang dicintai.
[3]
Al Ghorom/cinta yang menyala-nyala, cinta disebut demikian karena rasa
cinta yang menetap di dalam hati orang yang mencintai dan tidak
terpisahkannya perasaan itu darinya.
[4] Al ‘Isyqu/mabuk asmara, yaitu cinta yang berlebihan.
[5] Asy Syauq/sangat rindu, yaitu berkelananya hati orang yang mencintai menuju sesuatu yang dicintai.
[6] At Tatayyum/penghambaan, yaitu penghambaan orang yang mencintai terhadap yang dicintai. Tingkatan terakhir ini merupakan tingkatan kecintaan yang paling tinggi.
Adapun mahabbah maka ia merupakan salah satu kata yang digunakan orang
arab untuk mengungkapkan cinta yang artinya luapan dan gejolak hati saat
dirundung keinginan bertemu dengan sang kekasih.
Cinta adalah Salah Satu Sebab Perbuatan dan Gerakan
Cinta dan keinginan merupakan asal/sebab setiap perbuatan/amal dan
gerakan di alam semesta ini, kedua hal itulah yang mengawali segala
perbuatan dan gerakan sebagaimana benci dan rasa ketidaksukaan adalah
asal/sebab yang mengawali seseorang untuk meninggalkan dan menahan diri
dari sesuatu[3].
Demikianlah cinta ia mampu membangkitkan jiwa,
menggerakkan hati dan badan jika disebutkan sesuatu yang dicintainya
walau yang disebutkan hanya nama sesuatu yang dicintainya tersebut
karena rindu yang mendalam kepada yang dicintainya. Hal ini terlihat
pada keadaan para pencinta wanita ketika disebutkan nama wanita yang
dicintainya demikian pula pada para pencinta dunia dan lain-lain.
Hal
ini terlihat pula pada para pencinta Allah dan RosulNya ketika nama
keduanya atau hal yang berhubungan dengan keduanya disebutkan pada saat
dibacakan Al Qur’an. Namun ketahuilah para pembaca ’’yang semoga Allah
merahmati kita semua’’ seluruh kecintaan di atas adalah cinta yang bathil kecuali kecintaan
kepada Allah dan konsekwensi dari kecintaan kepadaNya yaitu cinta
kepada Rosul, Al Qur’an dan para kekasih Allah dari orang-orang yang
beriman dan bertaqwa kepada Allah. Maka kecintaan yang demikianlah yang
abadi dan abadi pula buahnya sesuai dengan abadinya ketergantungan orang
tersebut kepada Allah. Keutamaan cinta ini atas kecintaan kepada yang
lain sama dengan keutamaan orang yang bergantung kepada Allah atas orang
yang bergantung kepada selainNya. Jika hubungan orang yang saling
mencintai dan saling menggantungkan hati itu terputus maka terputus
pulalah sebab-sebabnya sehingga yang abadi adalah kecintaan kepada
Allah. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman
إِذْ تَبَرَّأَ الَّذِينَ اتُّبِعُوا مِنَ الَّذِينَ اتَّبَعُوا وَرَأَوُا الْعَذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ
“Ketika
orang-orang yang diikuti itu berlepas diri dari orang-orang yang
mengikutinya, dan mereka melihat siksa dan (ketika) segala asbab antara
mereka terputus sama sekali”. (QS. Al Baqoroh [2] : 166).
Al Asbab (الْأَسْبَابُ) dalam ayat ini dimaknai oleh Ibnu Abbas sebagai kecintaan sebagaimana yang diriwayatkan melalui Atho’[4].
Cinta adalah Dasar, Kesempurnaan dan Kelengkapan dalam Ibadah
Ibnul Qoyyim rohimahullah menyebutkan bahwa dasar ibadah, kesempurnaan serta kelengkapannya adalah cinta. Karena itulah seorang hamba tidak boleh mempersekutukan Allah dalam kecintaan kepada selainNya[5].
Bahkan
dua kalimat yang seseorang tidak akan masuk islam kecuali dengannya
yaitu dua kalimat syahadat tidaklah sah jika seseorang yang
mengucapkannya kecuali dengan rasa cinta, artinya rasa cinta merupakan
salah satu syarat diterima kalimat syahadat seseorang[6]. Dalilnya
adalah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala,
وَمِنَ
النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ
كَحُبِّ اللَّهِ وَالَّذِينَ آَمَنُوا أَشَدُّ حُبًّا لِلَّهِ
“Dan
diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan
selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah.
Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada
Allah (melebihi cinta orang musyrik kepada berhala mereka)”. (QS. Al
Baqoroh [2] : 165).
Bahkan hakikat peribadatan adalah menghinakan diri dan tunduk kepada yang dicintai. Dengan kata lain yang dinamakan hamba adalah orang yang dihinakan oleh rasa cinta dan ketundukan kepada sesuatu yang dicintai. Oleh karena itulah tingkatan yang paling mulia bagi
seorang hamba adalah penghambaan kepada yang dicintainya. Lihatlah
betapa Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebut mahlukNya yang paling mulia
dan paling dicintaiNya yaitu Rosulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi was
sallam dengan sebutan hamba. Sebagaimana dalam firman Allah ‘Azza wa
Jalla ketika memperjalankan beliau untuk bertemu langsung dengan Allah
di langit yang tidak ada satu Nabi dan Rosulpun yang Allah muliakan
dengan hal itu,
سُبْحَانَ
الَّذِي أَسْرَى بِعَبْدِهِ لَيْلًا مِنَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ إِلَى
الْمَسْجِدِ الْأَقْصَى الَّذِي بَارَكْنَا حَوْلَهُ لِنُرِيَهُ مِنْ
آَيَاتِنَا إِنَّهُ هُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Maha
Suci Allah, yang telah memperjalankan hambaNya pada suatu malam dari
Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang telah Kami berkahi sekelilingnya
agar Kami perlihatkan kepadanya sebagian dari tanda-tanda (kebesaran)
Kami. Sesungguhnya Dia adalah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”. (QS.
Al Isro’ [17] : 1)[7].
4 Cinta yang Harus Dibedakan
Terdapat 4 macam cinta yang harus dibedakan, sebab orang yang tidak membedakannya pasti akan tersesat kerenanya.
[1] Mahabbatullah/cinta kepada Allah.
Hal ini saja belum cukup untuk menyelamatkan seseorang dari adzab Allah
dan mendapatkan pahalaNya. Sebab kaum musyrikin, penyembah salib dan
yahudi juga mencintai Allah[8].
[2] Mahabbatu maa yuhibbullah/mencintai perkara yang Allah cintai. Hal inilah yang memasukkan pelakunya ke dalam islam dan mengeluarkannya dari kekafiran.
[3] Al Hubb lillah wa fillah/mencintai karena Allah dalam keta’atan kepadaNya. Hal
ini merupakan konsekwensi dari mencintai perkara yang Allah cintai.
Sungguh mencintai sesuatu tidaklah akan benar-benar terwujud kecuali
dengan mencintai hal itu karena Allah dan dalam keta’atan kepadaNya.
[4] Al Mahabbatu ma’allah/mencintai selain Allah bersama Allah. Ini
adalah kecintaan orang-orang musyrik kepada Allah. Barangsiapa yang
mencintai sesuatu bersama Allah bukan karena Allah, bukan sebagai sarana
kepada kecintaan pada Allah dan bukan dalam keta’atan kepadaNya maka
dia telah menjadikan sesuatu tersebut sebagai tandingan bagi Allah. Seperti inilah kecintaan kaum musyrikin.
[5] Al Mahabbatu ath Thobi’iyah/cinta yang sejalan dengan tabi’at. Cinta
ini bentuknya berupa kecenderungan seseorang terhadap perkara yang
sesuai dengan tabi’atnya seperti seseorang yang haus mencintai air,
seseorang yang lapar mencintai makanan, seseorang yang mencintai tidur
ketika mengantuk, seseorang suami dan ayah mencintai istri dan anak dan
seterusnya.
Kecintaan jenis ini tidaklah tercela selama kecintaan tersebut tidak melalaikan dari mengingat Allah (ibadah) dan menghambat kesibukan hamba dalam mencintai Allah.
Semisal
seorang yang karena cintanya kepada anaknya menyebabkan ia lalai dari
sholat jama’ah karena bekerja untuk memberi nafkah anaknya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
يَا
أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا
أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَأُولَئِكَ
هُمُ الْخَاسِرُونَ
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan
kamu dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka
mereka itulah orang-orang yang merugi”. (QS. Al Munafiqun [63] : 9).[9]
Jika
demikian celaan Allah pada hal-hal yang mubah maka bagaimanakah celaan
Allah terhadap kecintaan seseorang terhadap perkara yang haram semisal seorang pemuda yang mencintai pacarnya[10] apalagi jika kecintaan ini mengahalanginya dari
ibadah kepada Allah, semisal melalaikan sholat jama’ah. Maka tentulah
celaan Allah untuk orang yang demikian bertumpuk-tumpuk banyaknya.
Perkara yang Dicintai [11]
Perkara yang dicintai terdiri dari dua hal :
[1] Perkara yang dicintai karena dirinya sendiri.
[2] Perkara yang dicintai karena yang lain.
Tidak
ada suatu apapun yang berhak untuk dicintai karena dirinya sendiri
kecuali Allah ‘Azza wa Jalla semata. Segala sesuatu yang dicintai selain
Allah hanyalah karena mengikuti kecintaan kepada Allah, seperti
kecintaan kepada para malaikat, para Nabi, orang-orang yang beriman dan
bertaqwa, maka kecintaan tersebut hanya mengikuti kecintaan kepada
Allah. Perkara ini merupakan sebuah perkara yang wajib untuk
diperhatikan dan dibedakan karena ia adalah pembeda kecintaan yang
bermanfaat dan yang tidak bermanfaat/membahayakan.
Adapun perkara yang dicintai karena yang lain maka hal ini dapat dibagi menjadi dua :
[1] Perkara yang mendatangkan kenikmatan bagi seseorang yang mencintainya, dengan cara mengetahui dan memperolehnya.
[2]
Perkara yang mendatangkan penderitaan bagi seseorang yang mencintainya
tetapi ia tetap bertahan menanggungnya karena hal itu mengantarkan
kepada perkara yang dicintainya.
Hal ini sebagaimana meminum obat-obatan dan perang. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman,
كُتِبَ
عَلَيْكُمُ الْقِتَالُ وَهُوَ كُرْهٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تَكْرَهُوا
شَيْئًا وَهُوَ خَيْرٌ لَكُمْ وَعَسَى أَنْ تُحِبُّوا شَيْئًا وَهُوَ شَرٌّ
لَكُمْ وَاللَّهُ يَعْلَمُ وَأَنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Diwajibkan
atas kamu berperang, padahal berperang itu adalah sesuatu yang kamu
benci. Boleh jadi kamu membenci sesuatu, padahal ia amat baik bagimu,
dan boleh jadi (pula) kamu menyukai sesuatu, padahal ia amat buruk
bagimu. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui”. (QS. Al Baqoroh
[2] : 216).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar