Tak
kenal maka tak cinta, demikian bunyi pepatah. Banyak orang mengaku
mengenal Allah, tapi mereka tidak cinta kepada Allah. Buktinya, mereka
banyak melanggar perintah dan larangan Allah. Sebabnya, ternyata mereka
tidak mengenal Allah dengan sebenarnya.
Sekilas,
membahas persoalan bagaimana mengenal Allah bukan sesuatu yang asing.
Bahkan mungkin ada yang mengatakan untuk apa hal yang demikian itu
dibahas? Bukankah kita semua telah mengetahui dan mengenal pencipta
kita? Bukankah kita telah mengakui itu semua?
Kalau
mengenal Allah sebatas di masjid, di majlis dzikir, atau di majlis ilmu
atau mengenal-Nya ketika tersandung batu, ketika mendengar kematian,
atau ketika mendapatkan musibah dan mendapatkan kesenangan, barangkali
akan terlontar pertanyaan demikian.
Yang
dimaksud dalam pembahasan ini yaitu mengenal Allah yang akan membuahkan
rasa takut kepada-Nya, tawakal, berharap, menggantungkan diri, dan
ketundukan hanya kepada-Nya. Sehingga kita boleh mewujudkan segala
bentuk ketaatan dan menjauhi segala apa yang dilarang oleh-Nya. Yang
akan menenteramkan hati ketika orang-orang mengalami gundah-gulana dalam
hidup, mendapatkan rasa aman ketika orang-orang dirundung rasa takut
dan akan berani menghadapi segala macam problem hidup.
Faktanya,
banyak yang mengaku mengenal Allah tetapi mereka selalu bermaksiat
kepada-Nya siang dan malam. Lalu apa manfaat kita mengenal Allah kalau
keadaannya demikian? Dan apa artinya kita mengenal Allah sementara kita
melanggar perintah dan larangan-Nya?
Maka
dari itu mari kita menyemak pembahasan tentang masalah ini, agar kita
mengerti hakikat mengenal Allah dan boleh memetik buahnya dalam wujud
amal.
Mengenal
Allah ada empat cara iaitu mengenal wujud Allah, mengenal Rububiyah
Allah, mengenal Uluhiyah Allah, dan mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat
Allah.
Keempat cara ini telah disebutkan Allah di dalam Al Qur’an dan di dalam As Sunnah baik secara global mahupun terperinci.
Ibnul
Qoyyim dalam kitab Al Fawaid hal 29, mengatakan: “Allah mengajak
hamba-Nya untuk mengenal diri-Nya di dalam Al Qur’an dengan dua cara
yaitu pertama, melihat segala perbuatan Allah dan yang kedua, melihat
dan merenungi serta menggali tanda-tanda kebesaran Allah seperti dalam
firman-Nya: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi dan
pergantian siang dan malam terdapat (tanda-tanda kebesaran Allah) bagi
orang-orang yang memiliki akal.” (QS. Ali Imran: 190)
Juga
dalam firman-Nya yang lain: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan
bumi dan pergantian malam dan siang, serta bahtera yang berjalan di
lautan yang bermanfaat bagi manusia.” (QS. Al Baqarah: 164)
Mengenal Wujud Allah.
yaitu
beriman bahawa Allah itu ada. Dan adanya Allah telah diakui oleh
fitrah, akal, panca indera manusia, dan ditetapkan pula oleh syari’at.
Ketika
seseorang melihat makhluk ciptaan Allah yang berbeda-beda bentuk,
warna, jenis dan sebagainya, akal akan menyimpulkan adanya semuanya itu
tentu ada yang mengadakannya dan tidak mungkin ada dengan sendirinya.
Dan panca indera kita mengakui adanya Allah di mana kita melihat ada
orang yang berdoa, menyeru Allah dan meminta sesuatu, lalu Allah
mengabulkannya.
Adapun
tentang pengakuan fitrah telah disebutkan oleh Allah di dalam Al
Qur’an: “Dan ingatlah ketika Tuhanmu menurunkan keturunan anak-anak Adam
dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka
(seraya berfirman ): ‘Bukankah Aku ini Tuhanmu’ Mereka menjawab: ‘(Betul
Engkau Tuhan kami) kami mempersaksikannya (Kami lakukan yang demikian
itu) agar kalian pada hari kiamat tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya kami
bani Adam adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan-Mu) atau
agar kamu tidak mengatakan: ‘Sesungguhnya orang-orang tua kami telah
mempersekutukan Tuhan sejak dahulu sedangkan kami ini adalah anak-anak
keturunan yang datang setelah mereka.’.” (QS. Al A’raf: 172-173)
Ayat
ini merupakan dalil yang sangat jelas bahawa fitrah seseorang mengakui
adanya Allah dan juga menunjukkan, bahawa manusia dengan fitrahnya
mengenal Rabbnya. Adapun bukti syari’at, kita meyakini bahawa syari’at
Allah yang dibawa para Rasul yang mengandung maslahat bagi seluruh
makhluk, menunjukkan bahawa syari’at itu datang dari sisi Dzat yang Maha
Bijaksana. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah Syaikh Muhammad bin
Shalih Al ‘Utsaimin hal 41-45)
Mengenal Rububiyah Allah
Rububiyah
Allah adalah mengesakan Allah dalam tiga perkara iaitu penciptaan-Nya,
kekuasaan-Nya, dan pengaturan-Nya. (Lihat Syarah Aqidah Al Wasithiyyah
Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin hal 14)
Maknanya,
menyakini bahawa Allah adalah Dzat yang menciptakan, menghidupkan,
mematikan, memberi rezeki, mendatangkan segala manfaat dan menolak
segala mudharat. Dzat yang mengawasi, mengatur, penguasa, pemilik hukum
dan selainnya dari segala sesuatu yang menunjukkan kekuasaan tunggal
bagi Allah.
Dari
sini, seorang mukmin harus meyakini bahawa tidak ada seorang pun yang
menandingi Allah dalam hal ini. Allah mengatakan: “’Katakanlah!’ Dialah
Allah yang Maha Esa. Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada
seorang pun yang setara dengan-Nya.” (QS. Al Ikhlash: 1-4)
Maka
ketika seseorang meyakini bahawa selain Allah ada yang memiliki
kemampuan untuk melakukan seperti di atas, bererti orang tersebut telah
mendzalimi Allah dan menyekutukan-Nya dengan selain-Nya.
Dalam
masalah rububiyah Allah sebahagian orang kafir jahiliyah tidak
mengingkarinya sedikitpun dan mereka meyakini bahawa yang mampu
melakukan demikian hanyalah Allah semata. Mereka tidak meyakini bahawa
apa yang selama ini mereka sembah dan agungkan mampu melakukan hal yang
demikian itu. Lalu apa tujuan mereka menyembah Tuhan yang banyak itu?
Apakah mereka tidak mengetahui jikalau ‘tuhan-tuhan’ mereka itu tidak
dapat berbuat apa-apa? Dan apa yang mereka inginkan dari sesembahan itu?
Allah telah menceritakan di dalam Al Qur’an bahwa mereka memiliki dua tujuan.
Pertama, mendekatkan diri mereka kepada Allah dengan sedekat-dekatnya sebagaimana firman Allah:
“Dan
orang-orang yang menjadikan selain Allah sebagai penolong (mereka
mengatakan): ‘Kami tidak menyembah mereka melainkan agar mereka
mendekatkan kami di sisi Allah dengan sedekat-dekatnya’.” (Az Zumar: 3 )
Kedua, agar mereka memberikan syafa’at (pembelaan ) di sisi Allah. Allah berfirman:
“Dan
mereka menyembah selain Allah dari apa-apa yang tidak boleh memberikan
mudharat dan manfaat bagi mereka dan mereka berkata: ‘Mereka (sesembahan
itu) adalah yang memberi syafa’at kami di sisi Allah’.” (QS. Yunus: 18,
Lihat kitab Kasyfusy Syubuhat karya Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab)
Keyakinan sebahagian orang kafir terhadap tauhid rububiyah Allah telah dijelaskan Allah dalam beberapa firman-Nya:
“Kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan mereka? Mereka akan menjawab Allah.” (QS. Az Zukhruf: 87)
“Dan
kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menciptakan langit dan
bumi dan yang menundukkan matahari dan bulan? Mereka akan mengatakan
Allah.” (QS. Al Ankabut: 61)
“Dan
kalau kamu bertanya kepada mereka siapakah yang menurunkan air dari
langit lalu menghidupkan bumi setelah matinya? Mereka akan menjawab
Allah.” (QS. Al Ankabut: 63)
Demikianlah
Allah menjelaskan tentang keyakinan mereka terhadap tauhid Rububiyah
Allah. Keyakinan mereka yang demikian itu tidak menyebabkan mereka masuk
ke dalam Islam dan menyebabkan halalnya darah dan harta mereka sehingga
Rasulullah mengumumkan peperangan melawan mereka.
Makanya,
jika kita melihat kenyataan yang terjadi di tengah-tengah kaum
muslimin, kita sedari betapa besar kerusakan akidah yang melanda
saudara-saudara kita. Banyak yang masih meyakini bahwa selain Allah, ada
yang mampu menolak mudharat dan mendatangkan manfa’at, meluluskan dalam
ujian, memberikan keberhasilan dalam usaha, dan menyembuhkan penyakit.
Sehingga, mereka harus berduyun-duyun meminta-minta di kuburan
orang-orang shalih, atau kuburan para wali, atau di tempat-tempat
keramat.
Mereka
harus pula mendatangi para dukun, tukang ramal, dan tukang tenung atau
dengan istilah sekarang paranormal. Semua perbuatan dan keyakinan ini,
merupakan keyakinan yang rosak dan bentuk kesyirikan kepada Allah.
Ringkasnya,
tidak ada yang boleh memberi rezeki, menyembuhkan segala macam
penyakit, menolak segala macam marabahaya, memberikan segala macam
manfaat, membahagiakan, menyengsarakan, menjadikan seseorang miskin dan
kaya, yang menghidupkan, yang mematikan, yang meluluskan seseorang dari
segala macam ujian, yang menaikkan dan menurunkan pangkat dan jabatan
seseorang, kecuali Allah. Semuanya ini menuntut kita agar hanya meminta
kepada Allah semata dan tidak kepada selain-Nya.
Mengenal Uluhiyah Allah
Uluhiyah
Allah adalah mengesakan segala bentuk peribadatan bagi Allah, seperti
berdo’a, meminta, tawakal, takut, berharap, menyembelih, bernadzar,
cinta, dan selainnya dari jenis-jenis ibadah yang telah diajarkan Allah
dan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam.
Memperuntukkan
satu jenis ibadah kepada selain Allah termasuk perbuatan dzalim yang
besar di sisi-Nya yang sering diistilahkan dengan syirik kepada Allah.
Allah berfirman di dalam Al Qur’an:
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
“Hanya kepada-Mu ya Allah kami menyembah dan hanya kepada-Mu ya Allah kami meminta.” (QS. Al Fatihah: 5)
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wasallam telah membimbing Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhu dengan sabda beliau:
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
“Dan apabila kamu minta maka mintalah kepada Allah dan apabila kamu minta tolong maka minta tolonglah kepada Allah.” (HR. Tirmidzi)
Allah berfirman:
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
“Dan sembahlah Allah dan jangan kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun” (QS. An Nisa: 36)
Allah berfirman:
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
“Hai sekalian manusia sembahlah Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian, agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa.” (QS. Al Baqarah: 21)
Dengan
ayat-ayat dan hadits di atas, Allah dan Rasul-Nya telah jelas
mengingatkan tentang tidak bolehnya seseorang untuk memberikan
peribadatan sedikit pun kepada selain Allah kerana semuanya itu hanyalah
milik Allah semata.
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman kepada ahli
neraka yang paling ringan adzabnya. ‘Kalau seandainya kamu memiliki
dunia dan apa yang ada di dalamnya dan sepertinya lagi, apakah kamu akan
menebus dirimu? Dia menjawab ya. Allah berfirman: ‘Sungguh Aku telah
menginginkan darimu lebih rendah dari ini dan ketika kamu berada di
tulang rusuknya Adam tetapi kamu enggan kecuali terus menyekutukan-Ku.” (
HR. Muslim dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu )
Rasulullah
Shallallahu ‘Alaihi Wasallam bersabda: “Allah berfirman dalam hadits
qudsi: “Aku tidak perlu kepada sekutu-sekutu, maka barang siapa yang
melakukan satu amalan dan dia menyekutukan Aku dengan selain-Ku maka Aku
akan membiarkannya dan sekutunya.” (HR. Muslim dari Abu Hurairah
Radhiallahu ‘Anhu )
Contoh
konkrit penyimpangan uluhiyah Allah di antaranya ketika seseorang
mengalami musibah di mana ia berharap boleh terlepas dari musibah
tersebut. Lalu orang tersebut datang ke makam seorang wali, atau kepada
seorang dukun, atau ke tempat keramat atau ke tempat lainnya. Ia meminta
di tempat itu agar penghuni tempat tersebut atau sang dukun, boleh
melepaskannya dari musibah yang menimpanya. Ia begitu berharap dan takut
jika tidak terpenuhi keinginannya. Ia pun mempersembahkan sesembelihan
bahkan bernadzar, berjanji akan beri’tikaf di tempat tersebut jika
terlepas dari musibah seperti keluar dari lilitan hutang.
Ibnul
Qoyyim mengatakan: “Kesyirikan adalah penghancur tauhid rububiyah dan
pelecehan terhadap tauhid uluhiyyah, dan berburuk sangka terhadap
Allah.”
Mengenal Nama-nama dan Sifat-sifat Allah
Maksudnya,
kita beriman bahawa Allah memiliki nama-nama yang Dia telah menamakan
diri-Nya dan yang telah dinamakan oleh Rasul-Nya. Dan beriman bahawa
Allah memiliki sifat-sifat yang tinggi yang telah Dia sifati diri-Nya
dan yang telah disifati oleh Rasul-Nya. Allah memiliki nama-nama yang
mulia dan sifat yang tinggi berdasarkan firman Allah:
“Dan Allah memiliki nama-nama yang baik.” (Qs. Al A’raf: 186)
“Dan Allah memiliki permisalan yang tinggi.” (QS. An Nahl: 60)
Dalam
hal ini, kita harus beriman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah
sesuai dengan apa yang dimahukan Allah dan Rasul-Nya dan tidak
menyelewengkannya sedikit pun. Imam Syafi’i meletakkan kaedah dasar
ketika berbicara tentang nama-nama dan sifat-sifat Allah sebagai
berikut: “Aku beriman kepada Allah dan apa-apa yang datang dari Allah
dan sesuai dengan apa yang dimahukan oleh Allah. Aku beriman kepada
Rasulullah dan apa-apa yang datang dari Rasulullah sesuai dengan apa
yang dimahukan oleh Rasulullah” (Lihat Kitab Syarah Lum’atul I’tiqad
Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin hal 36)
Ketika
berbicara tentang sifat-sifat dan nama-nama Allah yang menyimpang dari
yang dimahukan oleh Allah dan Rasul-Nya, maka kita telah berbicara
tentang Allah tanpa dasar ilmu. Tentu yang demikian itu diharamkan dan
dibenci dalam agama. Allah berfirman:
“Katakanlah:
‘Tuhanku hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak
ataupun yang tersembunyi, dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia
tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan
sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah (keterangan) untuk itu dan
(mengharamkan) kalian berbicara tentang Allah tanpa dasar ilmu.” (QS. Al
A’raf: 33)
“Dan
janganlah kamu mengatakan apa yang kamu tidak memiliki ilmu padanya,
sesungguhnya pendengaran, penglihatan, dan hati semuanya akan diminta
pertanggungan jawaban.” (QS. Al Isra: 36)
1. Wujud : Artinya Ada
Yaitu
tetap dan benar yang wajib bagi zat Allah Ta’ala yang tiada disebabkan
dengan sesuatu sebab. Maka wujud ( Ada ) – disisi Imam Fakhru Razi dan
Imam Abu Mansur Al-Maturidi bukan ia a’in maujud dan bukan lain daripada
a’in maujud , maka atas qaul ini adalah wujud itu Haliyyah ( yang
menepati antara ada dengan tiada) . Tetapi pada pendapat Imam Abu Hassan
Al-Ashaari wujud itu ‘ain Al-maujud , karena wujud itu zat maujud
karena tidak disebutkan wujud melainkan kepada zat. Kepercayaan bahwa
wujudnya Allah SWT. bukan saja di sisi agama Islam tetapi semua
kepercayaan di dalam dunia ini mengaku menyatakan Tuhan itu ada. Firman
Allah SWT. yang bermaksud :
”
Dan jika kamu tanya orang-orang kafir itu siapa yang menjadikan langit
dan bumi nescaya berkata mereka itu Allah yang menjadikan……………” ( Surah
Luqman : Ayat 25 )
2. Qidam : Artinya Sedia
Pada
hakikatnya menafikan ada permulaan wujud Allah SWT karena Allah SWT.
menjadikan tiap-tiap suatu yang ada, yang demikian tidak dapat tidak
keadaannya lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu itu. Jika sekiranya
Allah Ta’ala tidak lebih dahulu daripada tiap-tiap sesuatu, maka
hukumnya adalah mustahil dan batil. Maka apabila disebut Allah SWT.
bersifat Qidam maka jadilah ia qadim. Di dalam Ilmu Tauhid ada satu
perkataan yang sama maknanya dengan Qadim Yaitu Azali. Setengah ulama
menyatakan bahwa kedua-dua perkataan ini sama maknanya Yaitu sesuatu
yang tiada permulaan baginya. Maka qadim itu khas dan azali itu am. Dan
bagi tiap-tiap qadim itu azali tetapi tidak boleh sebaliknya, Yaitu
tiap-tiap azali tidak boleh disebut qadim. Adalah qadim dengan nisbah
kepada nama terbahagi kepada empat bagian :
· Qadim Sifati ( Tiada permulaan sifat Allah Ta’ala )
· Qadim Zati ( Tiada permulaan zat Allah Ta’ala )
· Qadim Idhafi ( Terdahulu sesuatu atas sesuatu seperti terdahulu bapa nisbah kepada anak )
· Qadim Zamani ( Lalu masa atas sesuatu sekurang-kurangnya satu tahun )
Maka Qadim Haqiqi ( Qadim Sifati dan Qadim Zati ) tidak harus dikatakan lain daripada Allah Ta’ala.
3. Baqa’ : Artinya Kekal
Sentiasa
ada, kekal ada dan tiada akhirnya Allah SWT . Pada hakikatnya ialah
menafikan ada kesudahan bagi wujud Allah Ta’ala. Adapun yang lain
daripada Allah Ta’ala , ada yang kekal dan tidak binasa Selama-lamanya
tetapi bukan dinamakan kekal yang hakiki ( yang sebenar ) Bahkan kekal
yang aradhi ( yang mendatang jua seperti Arasy, Luh Mahfuz, Qalam,
Kursi, Roh, Syurga, Neraka, jisim atau jasad para Nabi dan Rasul ).
Perkara –perkara tersebut kekal secara mendatang tatkala ia bertakluq
dengan Sifat dan Qudrat dan Iradat Allah Ta’ala pada mengekalkannya.
Segala jisim semuanya binasa melainkan ‘ajbu Az-zanabi ( tulang kecil
seperti biji sawi letaknya di tungking manusia, itulah benih anak Adam
ketika bangkit daripada kubur kelak ). Jasad semua nabi-nabi dan jasad
orang-orang syahid berjihad Fi Sabilillah yang mana ianya adalah kekal
aradhi jua. Disini nyatalah perkara yang diiktibarkan permulaan dan
kesudahan itu terbahagi kepada 3 bagian :
· Tiada permulaan dan tiada kesudahan Yaitu zat dan sifat Alllah SWT.
· Ada permulaan tetapi tiada kesudahan Yaitu seperti Arash, Luh Mahfuz , syurga dan lain-lain lagi.
· Ada permulaan dan ada kesudahan Yaitu segala makhluk yang lain daripada perkara yang diatas tadi ( Kedua ).
4. Mukhalafatuhu Ta’ala Lilhawadith. Artinya : Bersalahan Allah Ta’ala dengan segala yang baharu.
Pada
zat , sifat atau perbuatannya sama ada yang baru , yang telahada atau
yang belum ada. Pada hakikat nya adalah menafikan Allah Ta’ala
menyerupai dengan yang baharu pada zatnya , sifatnya atau perbuatannya.
Sesungguhnya zat Allah Ta’ala bukannya berjirim dan bukan aradh Dan
tiada sesekali zatnya berdarah , berdaging , bertulang dan juga bukan
jenis leburan , tumbuh-tumbuhan , tiada berpihak ,tiada bertempat dan
tiada dalam masa. Dan sesungguhnya sifat Allah Ta’ala itu tiada
bersamaan dengan sifat yang baharu karena sifat Allah Ta’ala itu qadim
lagi azali dan melengkapi ta’aluqnya. Sifat Sama’ ( Maha Mendengar )
bagi Allah Ta’ala berta’aluq ia pada segala maujudat tetapi bagi
mendengar pada makhluk hanya pada suara saja. Sesungguhnya di dalam
Al-Quraan dan Al-Hadith yang menyebut muka dan tangan Allah SWT. , maka
perkataan itu hendaklah kita iktiqadkan thabit ( tetap ) secara yang
layak dengan Allah Ta’ala Yang Maha Suci daripada berjisim dan Maha Suci
Allah Ta’ala bersifat dengan segala sifat yang baharu.
5. Qiyamuhu Ta’ala Binafsihi : Artinya : Berdiri Allah Ta’ala dengan sendirinya .
Tidak
berkehendak kepada tempat berdiri ( pada zat ) dan tidak berkehendak
kepada yang menjadikannya Maka hakikatnya ibarat daripada menafikan
Allah SWT. berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang
menjadikannya. Allah SWT itu terkaya dan tidak berhajat kepada sesuatu
sama adapada perbuatannya atau hukumannya. Allah SWT menjadikan
tiap-tiap sesuatu dan mengadakan undang-undang semuanya untuk faedah dan
maslahah yang kembali kepada sekalian makhluk . Allah SWT menjadikan
sesuatu ( segala makhluk ) adalah karena kelebihan dan belas kasihannya
bukan berhajat kepada faedah. Allah SWT. Maha Terkaya daripada mengambil
apa-apa manafaat di atas kataatan hamba-hambanya dan tidak sesekali
menjadi mudharat kepada Allah Ta’ala atas sebab kemaksiatan dan
kemungkaran hamba-hambanya. Apa yang diperintahkan atau ditegah pada
hamba-hambanya adalah perkara yang kembali faedah dan manafaatnya kepada
hamba-hambaNya jua. Firman Allah SWT. yang bermaksud :
”
Barangsiapa berbuat amal yang soleh ( baik ) maka pahalanya itu pada
dirinya jua dan barangsiapa berbuat jahat maka balasannya (siksaannya )
itu tertanggung ke atas dirinya jua “. ( Surah Fussilat : Ayat 46 ).
Syeikh Suhaimi r.a.h berkata adalah segala yang maujudat itu dengan
nisbah berkehendak kepada tempat dan kepada yang menjadikannya,
terbahagi kepada empat bagian :
· Terkaya daripada tempat berdiri dan daripada yang menjadikannya Yaitu zat Allah SWT.
· Berkehendak kepada tempat berdiri dan kepada yang menjadikannya Yaitu segala aradh ( segala sifat yang baharu ).
·
Terkaya daripada zat tempat berdiri tetapi berkehendak kepada yang
menjadikannya Yaitu segala jirim. ( Segala zat yang baharu ) .
· Terkaya daripada yang menjadikannya dan berdiri ia pada zat Yaitu sifat Allah Ta’ala.
6. Wahdaniyyah. Artinya : Esa Allah Ta’ala pada zat, pada sifat & pada perbuatan.
Maka
hakikatnya ibarat daripada menafikan berbilang pada zat, pada sifat dan
pada perbuatan sama ada bilangan yang muttasil (yang berhubung ) atau
bilangan yang munfasil ( yang bercerai ).
Makna
Esa Allah SWT pada zat itu Yaitu menafikan Kam Muttasil pada Zat (
menafikan bilangan yang berhubung dengan zat ) seperti tiada zat Allah
Ta’ala tersusun daripada darah , daging , tulang ,urat dan lain-lain.
Dan menafikan Kam Munfasil pada zat ( menafikan bilangan yang bercerai
pada zat Allah Ta’ala )seperti tiada zat yang lain menyamai zat Allah
Ta’ala.
Makna
Esa Allah SWT pada sifat Yaitu menafikan Kam muttasil pada Sifat (
menafikan bilangan yang berhubung pada sifatnya ) Yaitu tidak
sekali-kali bagi Allah Ta’ala pada satu-satu jenis sifatnya dua qudrat
dan menafikan Kam Munfasil pada sifat ( menafikan bilangan –bilangan
yang bercerai pada sifat ) Yaitu tidak ada sifat yang lain menyamai
sebagaimana sifat Allah SWT. yang Maha Sempurna.
Makna
Esa Allah SWT pada perbuatan Yaitu menafikan Kam Muttasil pada
perbuatan ( menafikan bilangan yang bercerai–cerai pada perbuatan )
Yaitu tidak ada perbuatan yang lain menyamai seperti perbuatan Allah
bahkan segala apa yang berlaku di dalam alam semuanya perbuatan Allah
SWT sama ada perbuatan itu baik rupanya dan hakikatnya seperti iman dan
taat atau jahat rupanya tiada pada hakikat-nya seperti kufur dan maksiat
sama ada perbuatan dirinya atau perbuatan yang lainnya ,semuanya
perbuatan Allah SWT dan tidak sekali-kali hamba mempunyai perbuatan pada
hakikatnya hanya pada usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas. Maka
wajiblah bagi Allah Ta’ala bersifat Wahdaniyyah dan ternafi bagi Kam
yang lima itu Yaitu :
1. Kam Muttasil pada zat.
2. Kam Munfasil pada zat.
3. Kam Muttasil pada sifat.
4. Kam Munfasil pada sifat.
5. Kam Munfasil pada perbuatan.
Maka
tiada zat yang lain , sifat yang lain dan perbuatan yang lain menyamai
dengan zat , sifat dan perbuatan Allah SWT . Dan tertolak segala
kepercayaan-kepercayaan yang membawa kepada menyekutukan Allah Ta’ala
dan perkara-perkara yang menjejaskan serta merusakkan iman.
7. Al – Qudrah : Artinya : Kuasa qudrah Allah SWT.
Memberi
bekas pada mengadakan meniadakan tiap-tiap sesuatu. Pada hakikatnya
ialah satu sifat yang qadim lagi azali yang thabit ( tetap ) berdiri
pada zat Allah SWT. yang mengadakan tiap-tiap yang ada dan meniadakan
tiap-tiap yang tiada bersetuju dengan iradah. Adalah bagi manusia itu
usaha dan ikhtiar tidak boleh memberi bekas pada mengadakan atau
meniadakan , hanya usaha dan ikhtiar pada jalan menjayakan sesuatu .
Kepercayaan dan iktiqad manusia di dalam perkara ini
berbagai-bagaiFikiran dan fahaman seterusnya membawa berbagai-bagai
kepercayaan dan iktiqad.
a. Iktiqad Qadariah :
Perkataan
qadariah Yaitu nisbah kepada qudrat . Maksudnya orang yang beriktiqad
akan segala perbuatan yang dilakukan manusia itu sama ada baik atau
jahat semuanya terbit atau berpunca daripada usaha dan ikhtiar manusia
itu sendiri dan sedikitpun tiada bersangkut-paut dengan kuasa Allah SWT.
b. Iktiqad Jabariah :
Perkataan
Jabariah itu nisbah kepada Jabar ( Tergagah ) dan maksudnya orang yang
beriktiqad manusia dan makhluk bergantung kepada qadak dan qadar Allah
semata-mata ( tiada usaha dan ikhtiar atau boleh memilih samasekali ).
c. Iktiqad Ahli Sunnah Wal – Jamaah :
Perkataan
Ahli Sunnah Wal Jamaahialah orang yang mengikut perjalanan Nabi dan
perjalanan orang-orang Islam Yaitu beriktiqad bahwa hamba itu tidak
digagahi semata-mata dan tidak memberi bekas segala perbuatan yang
disengajanya, tetapi ada perbuatan yang di sengaja pada zahir itu yang
dikatakan usaha dan ikhtiar yang tiada memberi bekas sebenarnya sengaja
hamba itu daripada Allah Ta;ala jua. Maka pada segala makhluk ada usaha
dan ikhtiar pada zahir dan tergagah pada batin dan ikhtiar serta usaha
hamba adalah tempat pergantungan taklif ( hukum ) ke atasnya dengan
suruhan dan tegahan ( ada pahala dan dosa ).
8. Iradah : Artinya : Menghendaki Allah Ta’ala.
Maksudnya
menentukan segala mumkin ttg adanya atau tiadanya. Sebenarnya adalah
sifat yang qadim lagi azali thabit berdiri pada Zat Allah Ta’ala yang
menentukan segala perkara yang harus atau setengah yang harus atas
mumkin . Maka Allah Ta’ala yang selayaknya menghendaki tiap-tiap sesuatu
apa yang diperbuatnya. Umat Islam beriktiqad akan segala hal yang telah
berlaku dan yang akan berlaku adalah dengan mendapat ketentuan daripada
Allah Ta’ala tentang rezeki , umur , baik , jahat , kaya , miskin dan
sebagainya serta wajib pula beriktiqad manusia ada mempunyai nasib (
bagian ) di dalam dunia ini sebagaimana firman Allah SWT. yang bermaksud
: ” Janganlah kamu lupakan nasib ( bagian ) kamudi dalam dunia ” .
(Surah Al – Qasash : Ayat 77). Kesimpulannya ialah umat Islam mestilah
bersungguh-sungguh untuk kemajuan di dunia dan akhirat di mana
menjunjung titah perintah Allah Ta’aladan menjauhi akan segala larangan
dan tegahannyadan bermohon dan berserah kepada Allah SWT.
9. ‘Ilmu : Artinya : Mengetahui Allah Ta’ala .
Maksudnya
nyata dan terang meliputi tiap-tiap sesuatu sama ada yangMaujud (ada)
atau yang Ma’adum ( tiada ). Hakikatnya ialah satu sifat yang tetap ada (
thabit ) qadim lagi azali berdiri pada zat Allah Ta’ala. Allah Ta’ala
Maha Mengetahui akan segala sesuatu sama ada perkara. Itu tersembunyi
atau rahasia dan juga yang terang dan nyata. Maka ’ilmu Allah Ta’ala
Maha Luas meliputi tiap-tiap sesuatu diAlam yang fana’ ini.
10. Hayat . Artinya : Hidup Allah Ta’ala.
Hakikatnya
ialah satu sifat yang tetap qadim lagi azali berdiri pada zat Allah
Ta’ala . Segala sifat yang ada berdiri pada zat daripada sifat Idrak (
pendapat ) Yaitu : sifat qudrat, iradat , Ilmu , Sama’ Bashar dan Kalam.
11. Sama’ : Artinya : Mendengar Allah Ta’ala.
Hakikatnya
ialah sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada Zat Allah
Ta’ala. Yaitu dengan terang dan nyata pada tiap-tiap yang maujud sama
ada yang maujud itu qadim seperti ia mendengar kalamnya atau yang ada
itu harus sama ada atau telah ada atau yang akan diadakan. Tiada
terhijab (terdinding ) seperti dengan sebab jauh , bising , bersuara ,
tidak bersuara dan sebagainya. Allah Ta’ala Maha Mendengar akan segala
yang terang dan yang tersembunyi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
bermaksud :
” Dan ingatlah Allah sentiasa Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui “.
( Surah An-Nisa’a – Ayat 148 )
12. Bashar : Artinya : Melihat Allah Ta’ala .
Hakikatnya
ialah satu sifat yang tetap ada yang qadim lagi azali berdiri pada zat
Allah Ta’ala. Allah Ta’ala wajib bersifat Maha Melihat sama ada yang
dapat dilihat oleh manusia atau tidak, jauh atau dekat , terang atau
gelap , zahir atau tersembunyi dan sebagainya. Firman Allah Ta’ala yang
bermaksud : ” Dan Allah Maha Melihat akan segala yang mereka kerjakan “.
( Surah Ali Imran – Ayat 163 )
13 .Kalam : Artinya : Berkata-kata Allah Ta’ala.
Hakikatnya
ialah satu sifat yang tetap ada , yang qadim lagi azali , berdiri pada
zat Allah Ta’ala. Menunjukkan apa yang diketahui oleh ilmu daripada yang
wajib, maka ia menunjukkan atas yang wajib sebagaimana firman Allah
Ta’ala yang bermaksud : ” Aku Allah , tiada tuhan melainkan Aku ………”. (
Surah Taha – Ayat 14 ) Dan daripada yang mustahil sebagaimana firman
Allah Ta’ala yang bermaksud : ” ……..( kata orang Nasrani ) bahwasanya
Allah Ta’ala yang ketiga daripada tiga……….”. (Surah Al-Mai’dah – Ayat
73). Dan daripada yang harus sebagaimana firman Allah Ta’ala yang
bermaksud : ” Padahal Allah yang mencipta kamu dan benda-benda yang kamu
perbuat itu”. (Surah Ash. Shaffaat – Ayat 96). Kalam Allah Ta’ala itu
satu sifat jua tiada berbilang. Tetapi ia berbagai-bagai jika dipandang
dari perkara yang dikatakan Yaitu :
1. Menunjuk kepada ‘amar ( perintah ) seperti tuntutan mendirikan solat dan lain-lain kefardhuan.
2. Menunjuk kepada nahyu ( tegahan ) seperti tegahan mencuri dan lain-lain larangan.
3. Menunjuk kepada khabar ( berita ) seperti kisah-kisah Firaundan lain-lain.
4. Menunjuk kepada wa’ad ( janji baik ) seperti orang yang taat dan beramal soleh akan dapat balasan syurga dan lain-lain.
5.
Menunjuk kepada wa’ud ( janji balasan siksa ) seperti orang yang
mendurhaka kepada ibu & bapak akan dibalas dengan azab siksa yang
amat berat.
14. Kaunuhu Qadiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkuasa Mengadakan Dan Mentiadakan.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan
tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Qudrat.
15.Kaunuhu Muridan : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Menghendaki dan menentukan tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala , tiada ia maujud dan
tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Iradat.
16.Kaunuhu ‘Aliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mengetahui akan Tiap-tiap sesuatu.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan
tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat ‚Ilmu.
17.Kaunuhu Hayyun : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Hidup.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan
tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Hayat.
18.Kaunuhu Sami’an : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Mendengar akan tiap-tiap yang Maujud.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan
tiada ia ma’adum, Yaitu lain daripada sifat Sama’.
19.Kaunuhu Bashiran : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Melihat akan tiap-tiap yang Maujudat ( Benda yang ada ).
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan
tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Bashar.
20.Kaunuhu Mutakalliman : Artinya : Keadaan Allah Ta’ala Yang Berkata-kata.
Hakikatnya
Yaitu sifat yang berdiri dengan zat Allah Ta’ala, tiada ia maujud dan
tiada ia ma’adum , Yaitu lain daripada sifat Kalam.
SIFAT MUSTAHIL BAGI ALLAH S.W.T
Wajib
atas tiap-tiap mukallaf mengetahui sifat-sifat yang mustahil bagi Allah
yang menjadi lawan daripada dua puluh sifat yang wajib baginya. Maka
dengan sebab itulah di nyatakan di sini sifat-sifat yang mustahil
satu-persatu :
1. ‘Adam beerti “tiada”
2. Huduth beerti “baharu”
3. Fana’ beerti “binasa”
4. Mumathalatuhu Lilhawadith beerti “menyerupai makhluk”
5. Qiyamuhu Bighayrih beerti “berdiri dengan yang lain”
6. Ta’addud beerti “berbilang-bilang”
7. ‘Ajz beerti “lemah”
8. Karahah beerti “terpaksa”
9. Jahl beerti “jahil/bodoh”
10. Mawt beerti “mati”
11. Samam beerti “tuli”
12. ‘Umy beerti “buta”
13. Bukm beerti “bisu”
14. Kaunuhu ‘Ajizan beerti “keadaannya yang lemah”
15. Kaunuhu Karihan beerti “keadaannya yang terpaksa”
16. Kaunuhu Jahilan beerti “keadaannya yang jahil/bodoh”
17. Kaunuhu Mayyitan beerti “keadaannya yang mati”
18. Kaunuhu Asam beerti “keadaannya yang tuli”
19. Kaunuhu A’ma beerti “keadaannya yang buta”
20. Kaunuhu Abkam beerti “keadaannya yang bisu”
SIFAT HARUS BAGI ALLAH S.W.T
Adalah
sifat yang harus pada hak Allah Ta’ala hanya satu saja Yaitu Harus bagi
Allah mengadakan sesuatu atau tidak mengadakan sesuatu atau di sebut
sebagai “mumkin” (Fi’lu kulli Mumkinin Autarkuhu). Mumkin ialah sesuatu
yang harus ada dan tiada. Harus disini artinya boleh-boleh saja.
Artinya boleh-boleh saja Allah SWT menciptakan sesuatu, yakni tidak ada
paksaan dari sesuatu, karena Allah bersifat Qudrat dan Irodah. Dan
boleh-boleh saja bagi Allah SWT meniadakan sesuatu.
Wallahu ‘alam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar