MAKALAH
Kajian Ilmiah Penyakit Kelamin (Herpes
Simpleks) dalam Aspek Budaya
OLEH
FIANA ANJASARI
NIM.110601051
NIM.110601051
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN
STIKES PEMKAB JOMBANG
TAHUN AJARAN 2011/2012
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan
kehadiran Allah SWT karena atas rohmat dan karunian-Nya penulis dapat
mengerjakan tugas kelompok makalah tentang
Kajian Ilmiah Penyakit Kelamin (Herpes Simpleks) dalam Aspek Budaya dengan
penuh kemudahan. Tanpa pertolonganNya mungkin penulis tidak dapat menyelesaikan
makalah ini dengan baik, meskipun penulis juga menyadari segala kekurangan yang
ada di dalam makalah ini.
Makalah ini disusun berdasarkan
beberapa sumber buku yang telah penulis peroleh. Penulis berusaha menyajikan
makalah ini dengan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti. Selain penulis
memperoleh sumber dari beberapa buku pilihan, penulis juga memperoleh informasi
tambahan dari internet.
Penulis mengucapkan banyak terima
kasih kepada rekan-rekan semuanya yang telah memberikan sumbang sarannya untuk
penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari bahwa makaah ini jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis menerima kritik dan saran yang positif dan
membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan pada tugas
makalah-makalah berikutnya.
Semoga makalah ini dapat
memberikan manfaat kepada kita semua. Amin.
Penulis
Jombang,
30 November 2011
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.
Latar
Belakang
Penyakit Herpes Simpleks Virus (veneral disease) termasuk dalam penyakit
kelamin yang sudah lama di kenal. Infeksi virus Herpes simplex genitalis tercatat meningkat terus sejak
pertengahan 1960 sampai awal era epidemik AIDS. Laporan tahunan di AS meningkat
pada tahun 1966 tercatat 300.000 menjadi lebih dari 450.000 kasus pada tahun
1985, kemudian menurun sedikit pada tahun 1987. Demikian juga penemuan kasus
baru tahun 1966 sebesar 18.000 meningkat 8,8 kali lipat menjadi 157.000 pada
tahun 1984, kemudian menurun mulai tahun 1987.
Berdasar kan analisis antibodi
didapatkan kesimpulan bahwa :
-
Infeksi herpes genital simptomatik hanya
sedikit bila dibandingkan dengan seluruh jumlah kasus herpes.
-
Wanita cenderung lebih banyak terserang
HSV-2 (Herpes Simpleks Virus) dibandingkan pria.
-
Prevalensi antibodi HSV-2 lebih tiggi
pada kulit berwarna dibandingkan kulit putih.
-
Prevalensi HSV-2 (+) lebih banyak
dijumpai pada kelas ekonomi sosial rendah.
Insiden Herpes neonatal meningkat tajam
di beberapa daerah di AS dan diperkirakan lebih dari 15 kasus per 100.000
kelahiran. Penigkatan insidens tersebut seiring dengan peningkatan insidens
pada ibu hamil. Infeksi herpes pada ibu dapat ditularkan kepada bayi sehingga
dapat mengakibatkan meningitis, ensefalitis, pneumonitis dan hepatitis. Hal
yang penting diperhatikan pada ibu hamil adalah:
-
Hanya 1/3 jumlah ibu dari bayi yang
tertular, diketahui mempunyai lesi herpes sewaktu persalinan.
-
Hanya 1 dari 14 ibu yang menularkan
herpes mengaku menderita herpes.
-
Herpes genital primer sewaktu kehamilan
mempunyai resiko penularan yang besar.
-
Herpes genital primer pada trimester
ketiga merupakan pembawa (carrier)
dengan resiko penularan yang besar (50%).
Dari 143 wanita hamil dengan resiko
terkena herpes genital, ternyata hanya 2,4% yang positif menularkan virus pada
saat melahirkan. Sedangkan penelitian pada wanita yang datang di klinik KB
dengan pemeriksaan Immunodot assay
menunjukkan hasil seroprevalensi HSV-2 sebesar 21,6% dan ada hubungan yang bermakna dengan aktivitas seksual, ras, dan
usia. Demikian juga penelitian di Singapura menunjukkan hubungan antara herpes dengan usia, yaitu insidens
puncak episode awal herpes terjadi pada usia antara 20-29 tahun dan insidens
herpes primer sebesar 68,3% dari 43 penderita yang datang ke klinik RS.
Data-data di beberapa RS di Indonesia
menunjukkan bahwa prevelensi herpes rendah sekali yaitu tahun 1992 di RSU Dr.
Moewadi hanya 10 kasus dari 9983 penderita poliklinik, di RSU Dr. Hasan Sadikin
sebesar 9 kasus dari 9727 penderita poliklinik, sedangkan di RSUP Dr. Kariadi,
selama 5 tahun yaitu 1990-1994 jumlah penderita herpes sebanyak 110 atau 0,14%
dari seluruh penderita yang berobat di poliklinik. Namun demikian prevalensi
herpes genital di RSUD Dr. Soetomo agak tinggi yaitu sebesar 64 kasus dari 653
kasus IMS dan terlebih lagi di RSUP Denpasar jumlah kasusnya paling tinggi
yaitu sebesar 22 kasus dari 126 kasus IMS(Infeksi Menular Seksual).
Perubahan pola distribusi maupun pola
perilaku penyakit Herpes Simpleks tersebut di atas tidak terlepas dari
faktor-faktor yang mempengaruhinya. Selain faktor medis tentunya sangat
dipengaruhi juga oleh faktor-faktor sosial, seperti: Mobilitas penuduk yang
bertambah, Prostitusi, Kebebasan inidvidu(seperti berganti-ganti pasangan
seksual), Ketidaktahuan, Peledakan jumlah penduduk, Kemajuan sosial ekonomi
terutama dalam bidang industri yang menyebabkan lebih banyak kebebasan sosial
maupun kebebasan seks serta perkawinan antar ras/negara yang berbeda.
Oleh karena infeksi herpes simpleks ini
bisa menular kepada bayi yang dikandung oleh ibu yang menderita penyakit
tersebut dan dapat mengakibatkan meningitis, ensefalitis, pneumonitis dan
hepatitis pada bayi yang sedang dikandung, maka penulis bermaksud ingin mencari
solusi dari permasalahan tersebut. Agar angka penyebaran dari penyakit herpes
simpleks atau genital ini bisa sedikit berkurang.
1.2.
Tujuan
1.2.1.
Tujuan
Umum
Untuk
megetahui bagaimana penyebaran penyakit kelamin yaitu Herpes Simpleks yang
dilihat baik dari aspek medis maupun dari aspek sosial budaya. Juga untuk
mengetahui peran perawat kepada pasien dan mencari solusi untuk mengurangi
penyebarannya.
1.2.2.
Tujuan
Khusus:
1. Untuk
mengidentifikasi definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi
dari penyakit Herpes Simpleks
2. Untuk
mengidentifikasi penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks.
3. Untuk
mengidentifikasi penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis
maupun dari aspek sosial budaya.
4. Untuk
mengidentifikasi dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks
terutama pada kehamilan.
5. Untuk
mengidentifikasi perasaan pasien dari aspek psikologis.
6. Untuk
mengidentifikasi peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes
7. Untuk
memberi solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit herpes
simpleks.
1.3.
Rumusan Masalah
1. Apa
definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi dari penyakit
Herpes Simpleks?
2. Bagaimana
penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks?
3. Bagaimana
penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis maupun dari aspek
sosial budaya?
4. Apa
saja dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks terutama pada
kehamilan?
5. Bagaimana
perasaan pasien dari aspek psikologis?
6. Apa
saja peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes Simpleks?
7. Bagaimana
solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit herpes simpleks?
1.4.
Manfaat
1. Dapat
mengetahui definisi, gejala klinis, etiologi, patogenesis, epidomiologi dari
penyakit Herpes Simpleks
2. Dapat
mengetahui bagaimana penatalaksanaan bagi pasien penderita Herpes Simpleks.
3. Dapat
mengetahui penyebaran penyakit Herpes Simpleks baik dari aspek medis maupun
dari aspek sosial budaya.
4. Dapat
mengetahui dampak bagi pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks terutama
pada kehamilan.
5. Dapat
mengetahui perasaan pasien dari aspek psikologis.
6. Dapat
mengetahui peran perawat dalam menangani pasien yang terserang herpes
7. Dapat
mengetahui solusi dari permasalahan yang ditimbulkan oleh penyakit herpes
simpleks.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.
Herpes Simpleks
2.1.1.
Definisi
Herpes genitalis adalah infeksi pada
genital yang disebabkan oleh Herpes
Simplex Virus (HSV) dengan gejala khas berupa vesikel yang berkelompok
dengan dasar eritema pada daerah mukotan, sedangkan infeksi dapat berlangsung
baik primer maupun rekurens.
SINONIM
Fever
blister, ciold store, herpes febrilis, herpes labialis, herpes progenitalis
(genitalis)
2.1.2.
Epidemiologi
Penyakit ini menyebar kosmopolit dan
menyerang baik pria maupin wanita dengan frekuensi yang tidak berbeda. Infeksi
primer oleh herpes simpleks virus (HSV) tipe I biasanya dimulai pada usia
anak-anak, sedangkan infeksi HSV tipe II biasanya terjadi pada dekade II atau
III, dan berhubungan dengan peningkatan aktivitas seksual.
2.1.3.
Etiologi
Herpes genitalis disebabkan oleh Herpes Simplex Virus (HSV) ATAU Herpes
Virus Hominis (HVH), UNNA (1883) yang pertama kali mengetahui bahwa penyakit
ini dapat ditularkan melalui hubungan seksual, sedangkan SHARLITT pada tahun
1940 membedakan antara HSV tipe 1 (HSV-1) dan HSV tipe 2 (HSV-2). Sebagian
besar penyebabnya adalah HSV-2, tetapi walaupun demikian dapat juga disebabkan
oleh HSV-1 (± 16,1%) akibat hubungan kelamin secara urogenital atau penularan
melalui tangan.
Secara serologik, biologik dan sifat
fisikokimia HSV-1 dan HSV-2 sukar dibedakan. Dari penelitian seroepidemiologik
didapat bahwa antibodi HSV-1 sudah terdapat pada anak-anak sekitar umur 5
tahun, meningkat 70% pada usia remaja dan 97% pada orang tua. Penelitian
seroepidemiologik terhadap antibodi HSV-2 sulit untuk dinilai berhubung adanya
reaksi silang antara respons imun humoral HSV-1 dan HSV-2.
Dari data yang dikumplkan di WHO dapat
diambil kesimpulan bahwa antibodi terhadap HSV-2 rata-rata baru terbentuk
setelah melakukan aktivitas seksual. Pada kelompok remaja didapatkan kurang
dari 30%, pada kelompok wanita di atas umur 40 tahun naik sampai 60%, dan pada
pekerja seks wanita (PSW) ternyata antibodi HSV-2 10 kali lebih tinggi daripada
orang normal.
2.1.4.
Patogenesis
Bila seseorang terpajan HSV, maka
infeksi dapat berbentuk episode 1 infeksi primer (inisial), episode 1 non
infeksi primer, infeksi rekurens, asimtomatik atau tidak terjadi infeksi sama
sekali. Pada episode 1 infeksi primer, virus yang berasal dari ,luar masuk ke
dalam tubuh Hospes. Kemudian terjadi penggabungan dengan DNA hospes di dalam
tubuh hospes tersebut dan mengadakan multiplikasi/replikasi serta menimbulkan kelainan
pada kulit. Pada waktu itu hospes sendiri belum ada antibodi spesifik, ini bisa
mengakibatkan timbulnya lesi pada daerah yang luas dengan gejala konstitusi
berat. Selanjutnya virus menjalar melalui serabut saraf sensorik ke ganglion
saraf regional (ganglion sakralis) dan berdian di sana serta bersifat laten.
Pada episode I non infeksi primer,
infeksi sudah lama berlangsung tetapi belum menimbulkan gejala klinis, tubuh
sudah membentuk zat anti sehingga pada waktu terjadinya episode I ini kelainan yang timbul tidak seberat
episode I dengan infeksi primer.
Bila pada suatu waktu ada faktor
pencetus (trigger factor) , virus
akan mengalami reaktivasi dan multiplikasi kembali sehingga terjadilah infeksi
rekurens. Pada saat ini di dalam tubuh hospes sudah ada antibodi spesifik
sehingga kelainan yang timbul dan gejala konstitusinya tidak seberat pada waktu
infeksi primer. Tringger factor tersebut antara lain adalah trauma, koitus yang
berlebihan, demam, gangguan pencernaan, stress, emosi, kelelahan, makanan yang
merangsang, alkohol, obat-obatan (immunosupresif, kortkosteroid), dan pada
beberapa kasus sukar dketahui dengan jelas penyebabnya. Ada beberapa pendapat
mengenai terjadinya infeksi rekurens:
1. Reaksi
pencetus akan mengakibatkan reaktivasi virus dalam ganglion dan virus akan
turun melalui akson saraf perifer ke sel epitel kulit yang dipersarafinya dan
akan mengalami replikasi dan multiplikasi serta menimbulkan lesi.
2. Virus
secara terus menerus dilepaskan ke sel epitel dan adanya faktor pensetus ini
menyebabkan kelemahan setempat dan menimbulkan lesi rekurens.
2.1.5.
Gejala
klinis
Manifestasi klinik dapat dipengaruhi
oleh faktor herpes pajanan HSV sebelumnya. Episode tedahulu dan tipe virus.
Masa inkubasi umumnya berkisar antara 3-7 hari, tetapi dapat lebih lama. Gejala
yang timbul dapat bersifat berat, tetapi bisa juga asimtomatik terutama bila
lesi ditemukan pada daerah serviks. Pada penelitian retrospektif 50-70% infeksi
HSV-2 adalah asimtomatik.
Infeksi
HSV ini berlangsung dalam 3 tingkat :
1. Infeksi
primer
Tempat prediksi HSV tipe I di daerah
pinggang ke atas terutama di daerah mulut dan hidung, biasanya dimulai pada
usia anak-anak. Inokulasi dapat terjadi secara kebetulan, misalnya kontak kulit
pada perawat, dokter gigi atau pada orang yang sering menggigit jari (herpetic Whitlow). Virus ini juga
sebagai penyebab herpes ensefalitis. Infeksi primer oleh HSV tipe II mempunyai
tempat prediksi di daerah pinggang ke bawah, terutama di daerah genital, juga
dapat menyebabkan herpes meningitis dan infeksi neonatus.
Pada infeksi inisial gejalanya
lebih berat dan berlangsung lebih lama
dan berat kira-kira 3 minggu. Biasanya di dahului rasa terbakar dan gatal di
daerah lesi yang terjadi beberapa jam sebelum timbulnya lesi. Setelah lesi
timbul dapat diserta gejala konstitusi seperti malaise, demam dan nyeri otot.
Lesi pada kulit berbentuk vesikel yang berkelompok dengan dasar eriterm. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi
multiple. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi dalam waktu lima sampai
tujuh hari dan tidak terjadi jaringan parut, tetapi bila ada, penyembuhan
memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
Klenjar limfe regional dapat membesar
dan nyeri pada perabaan. Infeksi di saerah serviks, dapat menimbulkan beberapa
perubahan termasuk peradangan difus, ulkus multiple sampai terjadinya ulkus
yang besar dan nekrotik. Tetapi dapat juga tanpa gejala klinis. Pada saat
pertama kali timbul, penyembuhan memerlukan waktu yang cukup lama, dapat dua
sampai empat minggu, sedangkan pada serangan berikutnya penyembuhan akan lebih
cepat. Disamping itu pada infeksi pertama dapat terjadi disuria bila lesi
terdapat di daerah uretra dan periuretra, sehingga dapat menimbulkan mielitis
dan radikulitis.
1. Infeksi
Laten
Fase ini berarti penderita tidak
ditemukan gejala klinis, tetapi HSV dapat ditemukan dalam keadaan tidak aktif
dalam ganglion dorsalis.
2. Infeksi
Rekurens
Infeksi ini berarti HSV pada ganglion
dorsalis yang dalam keadaan tidak aktif, dengan mekanisme pacu menjadi aktif
dan mencapai kilit sehingga menimbulkan gejala klinis. Mekanisme pacu itu dapat
berupa trauma fisik (demam, infeksi, kurang tidur, hubungan seksual dan
sebagainya), trauma psikis (gangguan
emosional, menstruasi), dan dapat pula timbul akibat jenis makanan dan minuman
yang merangsang. Infeksi rekurens ini dapat timbul pada tempat yang sama (loco) atau tempat lain/tempat li
sekitarnya (non loco).
Infeksi rekures dapat terjadi dengan
cepat/lambat, sedangkan gejala yang timbul biasanya lebih ringan kira-kira 7-10
hari, karena telah ada antibodi spesifik dan penyembuhan juga akan lebih cepat.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, infeksi inisial dan rekurensi selain
disertai gejala klinis bisa tanpa gejala. Hal ini dapat dibuktikan dengan
ditemukannya antibodi terhadap HSV-2 pada orang yang tidak ada riwayat penyakit
herpes genitalis sebelumnya. Adanya antibodi terhadap HSV-1 menyebabkan infeksi
HSV-1 lebih ringan. Hal ini memungkinkan infeksi inisial HSV-2 berjalan
asimtomatik pada penderita yang pernah mendapat infeksi HSV-1.
Tempat predileksi pada pria biasanya di
preputium, glans penis, batang penis, dapat juga di uretra dan daerah anal
(pada homoseks),sedangkan daerah skrotum jarang terkena. Lesi pada wanita dapat
ditemukan di daerah labia major/minor, klitoris, introitus vaginae, serviks, sedangkan
pada daerah perianal, bokong dan mons pubis jarang ditemukan. Infeksi pada
wanita sering dihubungkan dengan servisitis, karena itu perlu pemeriksaan
sitologi secara teratur.
2.2. Penatalaksanaan
Setelah diagnosi ditegakkan, baik secara
klinis, dengan maupun tanpa pemeriksaan penunjang, maka langkah selanjutnya
adalah memberikan pengobatan. Pengobatan dapat dibagi menjadi tiga kategori
yaitu profilaksis, pengobatan non-spesifik dan pengobatan spesifik.
1.
Tindakan
Prolaksis
a. Penderita
diberi penerangan tentang sifat penyakit yang dapat menulat terutama bila
sedang terkene serangan, karena itu sebaiknya melaksanakan abstinensia.
b. Proteksi
individual. Digunakan dua macam alat perintang, yaitu busa spermisidal dan
kondom. Komninasi tersebujt, bila diikuti dengan pencucian alat kelamin memakai
air dan sabun pasca koitus, dapat mencegah transmisi herpes genitalis hampir
100% (Raab dan Lorincz, 1981). Busa supermisidal secara in vitro ternyata
mempunyai sifat virisidal, dan kondom dapat mengurangi penetrasi virus.
c. Faktor-faktor
pencetus sedapat mungkin dihindari.
d. Konsultasi
psikiatrik dapat dapat membantu karena faktor psikis mempunyai oeranan untuk
timbunya serangan.
2.
Pengobatan
non-spesifik
a. Rasa
nyeri dan gejala lain bervariasi, sehingga pemberian analgetika, antipretik dan
antipruritus disesuaikan dengan kebutuhan individual.
b. Zat-zat
pengering yang berisifat antiseptik, seperti jodium povidon secara topikal
mengeringkan lesi, mencegah infeksi sekunder dan mempercepat waktu penyembuhan.
c. Antibiotika
atau kontrimoksasol dapat diberikan untuk mencegah infeksi sekunder.
3.
Pengobatan
Spesifik
Berbagai macam obat antivirus telah
pernah dipakai untuk mengatasi penyakit herpes genitalis, misalnya idoksuridin
topikal, sitarabin (Ara-C) dan Viradabin (Ara-A) secara intravena, inosipleks
(isoprinosin), dan interferon. Obat antivirus yang kini telah banyak dipakai
ialah asiklovir, dan saat ini ada
lagi 2 macam obat antivirus baru yaitu valasiklovir
dan famsiklovir.
a.
Asiklovir
Asiklovir merupakan obat antivirus yang
spesifik terhadap virus herpes, dapat diberikan pada penderita dengan infeksi
mukokotan disertai defisiensi imunitas. Obat ini hanya bekerja pada sel-sel
yang terkena infeksi. Tidak mempunyai efek teratogenik. Toleransi obat bai,
tidak ada toksisitasa akut dan tidak menimbulkan penekanana sumsum tulang, hati
dan ginjal. Tetapi walaupun demikian pernah dilaporkan efek samping seperti
kolik ginjal, kenaikan kadar ureum/ kreatinin dalam serum, reaksi setempat pada
suntikan nausea dan vomitus.
Asiklovir dapat diberikan secara
intravena, oral dan topikal. Cara pemberian intravena harus perlahan-lahan dan
perlu pengawasan. Oleh karena itu ssebaiknya diberikan di rumah sakit. Dosis
setiap kali pemberian adalah 5 mg/kgBB, dengan interval 8 jam. Pengobatan
asiklovir secara intravena pada herpes genital episode pertama, yang memerlukan
waktu selama 5-10 hari. Ternyata tidak dapat mengurangi rekurensi (Corey DKK,
1985). Bila secara oral diberikan dengan dosis 200 mg 5 kali sehari selama 5-10
hari. Seperti secara intravena, pengobatan per oral mengurangi viral shedding secara dramatis.
Banyak sarjana berpendapat bahwa pada
infeksi primer sebaiknya diberi asiklovir secara intravena dan pada infeksi
rekurens diberikan secara oral. Pembrian
obat secara oral juga tidak menjamin tidak timbul rekurensi. Kinghorn dkk
(1986) telah membuktikan bahwa asiklovir 200 mg lima kali sehari per oral
ditambah kotromoksazol (160 mg dan 800 mg sulfametoksazol) dua kali sehari
selama 7 hari memperpendek waktu penyembuhan lesi secara bermakna dibandingkan
dengan pengobatan asiklovir saja.
Penanganan infeksi rekurens menurut
Moreland dkk (1990) dapat ditempuh dengan 4 cara:
1.
Tidak diberi terapi spesifik (terutama
pada infeksi yang ringan)
2.
Asiklovir peroral secara episodik dengan
dosis 5x200 nm/ hari selama 5 hari. Cara ini diberikan pada penderita dengan
riwayat lesi multiple atau serangan yang lama (7 hari)
3.
Supresi kronis asiklovir, dapat
dipertimbangkan bila seseorang mengalami keadaan sebagai berikut :
a.
Rekurensi lebih dari 8 kali per tahun.
b.
Rekurensi lebih dari 1 kali per bulan.
c.
Rekurensi menimbulkan beban psikologis yang
berat .
d.
Bila terapi dirasakan lebih bermanfaat
dibandingkan biaya untuk penderita tersebut.
Dosis asiklovir yang di berikan minimal
2 x 200 mg/hari dan dapat ditinggikan sampai 3-4 x 200 mg/hari tergantung pada
keadaan. Cara ini efektif dan aman untuk jangkam waktu minimal 1 tahun, dengan
penilaian ulang setiap 6 bulan.
4.
Supresi episodik dengan asiklovir,
diberikan pada individu dengan rekurensi terutama bila ada stress.
Asiklovir topikal diberikan dalam bentuk
krim 5%. Obat ini bekerja langsung pada sel yang terinfeksi serta memperpendek viral shedding . Efek toksiknya sangat
minimal, absorbsinya minimal dan tidak mengadakan interaksi dengan obat lain
yang digunkan secra bersamaan. Selain itu juga data mengurangi rasa nyeri dan
gatal. Karena hasilnya kurang efektif dibandingkan dengan pemberian secara
oral, maka pemakaiannya hanya untuk mengurangi keparahan dan lamanya episode
rekurens.
b.
Valasiklovir
Obat ini merupakan derivat ester L-valil
dari asiklovir. Bahan iktif antivirusnya ialah asiklovir, sehingga kemanjuran
dan spesifitasnya berhubungan dengan cara kerja asiklovir. Setelah diabsorbsi,
valasiklovir dengan cepat dan hampir seluruhnya, diubah menjadi asiklovir dan
L-valin. Bioavailabilitasnya 3-5 kali lebih tonggi dari pada yang dapat dicapai
oleh asiklovir oral dosis tinggi. kadar dalam plasma setelah valasiklovir oral
1000 mg mendekati kadar yang dapat dicapai oleh asiklovir yang diberikan secara
intravena.
Pada uji klinik yang membandingkan
valasiklovir 2 x 500 mg/hari, dengan asiklovir oral 5 x 200 mg/hari, dan
plasebo dalam waktu 24 jam setelah timbulnya keluhan dan gejala klinis pertama
episode herpes genitalis rekurens menunjukkan bahwa terapi valasiklovir secara
bermakna mengurangi rasa nyeri dan mempercepat penyembuhan lesi serta dengan
cepat memperpendek masa viral shedding.
Efek samping yang paling sering dilaporkan ialah nyeri kepala dan mual.
c.
Famsiklovir
Obat intivirus yang baru lain ialah
famsiklovir (famciclovir) yang merupakan derivat diasetil-6-deoksi pensiklovir.
Sedangkan pensiklovir sendiri merupakan golongan antivirus dengan komponen
guanin, yang dapat diberikan secara topikal dan intravena. Famsiklovir,
dikembangkan untuk pengobatan infeksi virus herpes, dengan cara pemberian per
oral. Cara kerja Famsiklovir sama seperti asiklovir, yaitu menghambat sintesis
DNA.
Pada penderita herpes genitalis episode
pertama, pemberian famsiklovir 3 kali 500 mg pe hari selama 5 hari, ternyata
mempersingkat viral shedding dan
waktu penyembuhan, dibandingkan plasebo. Bila dibandingkan dengan pengobatan
asiklovir 5 x 200 mg/hari selama 5 hari, pemberian famsiklovir 3x 750 mg/hari
dalam waktu yang sama, secara statistik tidak menunjukkan oerbedaan dalam
lamanya viral shedding, waktu
menghilangnya vesikel dan ulkus, serte terjadinya krustasi dan hilangnya rasa
sakit.
Penatalaksanaan
Wanita Hamil Dengan Herpes Genitalis
Wanita hamil yang menderita herpes
genitalis primer dalam 6 minggu terakhir masa kehamilannya dianjurkan untuk
dilakukan seksio sesarea sebelum atau dalam 4 jam sesudah pecahnya ketuban.
Seksio sesarea tidak dilakukan secara rutin pada wanita yang mendeeita herpes
genitalis rekurens. Hanya wanita dengan viral
shedding pad saat atau hampir melahirkan memerlukan seksio sesarea.
Disarankan untuk melakukan pemeriksaan virologik dan sitologik sejak kehamilan
32 dan 36 minggu. Setelah itu sekurang-kurangnya dilakukan kultur sekret
serviks dan genetalia eksterna. Bila kultur virus yang di inkubasi minimal 4
hari,memberikan hasil negatif 2 kali berturut-turut, serta tidak ada lesi
genital pada saat melahirkan maka dapat diannjurkan partus per vaginam.
Kontak yang lama dengan sekret yang
infeksius, secara relatif dapat meningkatkan resiko penularan penyakit. Oleh
karena itu banyak penulis menganjurkan, sebaiknya seksio sesarea dilakukan
sebelum atau dalam 4 jam sesudah ketuban pecah untuk mencegah bayi idtulari.
Pemberian asiklovir pada wanita hamil
dapat dipertimbangkan, terutama pada infekdi primer. Pada pertemuan
International Herpes Management Forum di San Fransisco AS November 1994, telah
disetujuipenatalaksanaan herpes genitalis pada wanita hamil dengan
mempertimbangkan apakah merupakan infeksi primer atau rekurens, serta usia
kehamilan. Episode awal herpes genitalis pada kehamilan dengan gejala yang
berat, dianjurkan untuk diberikan Asiklovir oral 5 x 200 mg/hari selama 7-10
hari. Asiklovir oral dosis supresif secara rutin tidak dianjurkan untuk herpes.
Genitalis rekurens selama kehmilan atau dekat dengan akhir kehamilan.
Penatalaksanaan
Bayi Lahir dari Ibu dengan Herpes Genitalis
Banyak rumah sakit yang menganjurka
isolasi untuk bayi yang lahir dari ibu dengan herpes genitalis. Kultur virus,
pemeriksaan fungsi hati dan cairan cerebrospinal harus dilakukan. Serta bayi
harus diawasi ketat selama satu bulan pertama kehidupannya. Spesimen untuk
pemeriksaan kultur virus diambil dari konjuntiva, umbilikus, nasofaring, dan
setiap lesi kulit yang dicurigai pada 24-48 jam pertama.
Bila ibu mengidap herpes genitalis
primer pada saat persalinan per vaginam, harus diberikan profilaksis asiklovir
intravena kepada bayi selama 5-7 hari dengan dosis 3 x 10 mg/kgBB/hari.
Infeksi herpes simpleks pada neonatus
prognosisnya buruk bila tidak di obati. Penelitian pengobatan dengan asiklovir
10 mg/kgBB tiap 8 jam selama 10-21 hari, atau Ara-A 30 mg/kgBB/hari menurunkan
angka kematian dibandingkan dengan penderita yang tidak mendapat pengobatan.
Cara pengobatan ini juga dapat mencegah progresivitas penyakit (infeksi herpes
pada sususnan saraf pusat atau infeksi diseminata). Oleh karena itu
identifikasi lesi kulit sangat penting untuik menentukan ada/tidaknya infeksi
HSV pada neonatus.
Penatalaksanaan
Herpes Genitalis pada Immunocompromised
Pada penderita Immunocompromised. Pengobatan infeksi herpes simpleks memerlukan
waktu yang lebih lama. Asiklovir oral dapat diberikan dengan dosis 5 x 200 mg –
400 mg/hari selama 5-10 hari. Pada yang beresiko tinggi untuk menjadi
diseminata, atau yang tidak dapat menerima pengobatan oral, mka asiklovir
diberikan secara intravena 3 x 5 mg/kgBB/hari selama 7-14 hari. Bila terdapat
bukti terjadinya infeksi sinstemik dianjurkan terapi asiklovir intravena 3 x 10
mg/kgBB/hari selama paling sedikit 10 hari.
Oeh karena pada keadaan tersebut lebih sering
terjadi rekurensi pengobatan supresif lebih dianjurkan, dengan dosis asiklovir
paling sedikit harus 2 x 400 mg/hari hingga keadaan Immunocompromisnya hilang
(jika mungkin).
Untuk penderita infeksi HIV simtomatik
atau AIDS, digunakan asiklovir oral 4-5 x 400 mgg/hari hingga lesi sembuh,
setelah itu dapat diberikan terapi supresif.
2.3. Penyebaran
Penyakit Herpes Simpleks dilihat dari Aspek Budaya
Penyakit herpes simpleks yang merupakan
penyakit kelamin ini terdapat banyak di negara manapun juga, baik di negara
yang sedang berkembang maupun yang sudah maju dan tersebar luas pada semua
lapisan masyarakat baik yang miskin maupun yang kaya. Banyaknya penyakit
kelamin dalam masyarakat, mencerminkan keadaan sosial penderita karena sebagian
besar tergantung pada tingkah laku manusia, faktor psikologis dan keadaan sosio
ekonominya.
Faktor-faktor
yang mempengaruhi penyebaran penyakit herpes simpleks ini diantaranya :
1. Faktor
dasar
a. Adanya
penularan penyakit
b. Berganti-ganti
pasangan seksual
2. Faktro
medis
a. Gejala
klinis pada wanita dan homoseksual yang asimtomatis
b. Pengobatan
modern
c. Pengolahan
yang mudah, murah, cepat dan efektif, sehingga risiko resistensi tinggi, dan
bila disalahgunakan akan meninggalkan risiko penyebaran infeksi.
3. Alat
kontrasepsi dalam rahim (AKDR) dan pil KB hanya bermanfaat bagi pencegahan
kehamilannya saja, berbeda dengan kondom yang juga ddapat digunakan sebagai
alat pencegahan terhadap penularannya
4. Faktor
sosial
a. Mobilitas
penuduk yang bertambah
b. Prostitusi
c. Waktu
yang santai
d. Kebebasan
inidvidu
e. Ketidaktahuan
f. Peledakan
jumlah penduduk
g. Kemajuan
sosial ekonomi terutama dalam bidang industri yang menyebabkan lebih banyak
kebebasan sosial maupun kebebasan seks.
Selain faktor-faktor tersebut di atas
masih ada beberapa faktor lain yang mempengaruhi perbedaan prevalensi antara
negara maju dan berkembang:
a) Diagnosis
yang kurang tepat karena keterbatasan sarana penunjang
b) Komplikasi
lebih banyak ditemukan di negara berkembnag, karena keterlambatan diagnosis
ddan pengobatan.
5. Perubahan
sikap terutama dalam bidang agama dan moral akibat perubahan demografik
6. Kelalaian
dalam memberikan pendidikan seks.
7. Perasaan
aman karena kemudahan mendapatkan obat dan alat kontrasepsi.
8. Fasilitas
kesehatan yang kurang memadai
9. Banyak
kasus yang tidak memberikan gejala tetapi dapat menular kepada orang lain.
10. Kurangnya
informasi tentang penularan penyakit Herpes di masyarakat dan juga
bahaya-bahaya penyakit kelamin baik untuk dirinya maupun keturunannya.
BAB III
PEMBAHASAN
3.1. Dampak Bagi pasien
Herpes
Genitalis pada Kehamilan
Bila
pada kehamilan timbul herpes genitalis, perlu mendapat perhatian yang serius,
karena melalui plasenta virus dpat sampai ke sirkulasi fetal serta dapat
menimbulkan kerusakan atau kematian pada janin. Infeksi neonatal
mempunyaimangka mortilitas 60% separuh dari yang hidup menderita cacat
neuroligis atau kelainan pada mata.
Kelainan
yang timbul pada bayi dapat berupa ensefalitis, mikrosefali, hidrosefali,
koroidoretinitis, keratokonjungtivitis, atau hepatitis, disamping itu dapat
juga timbul lesi pada kulit. Di amerika serikat frekuensi herpes neonatal
adalah satu per 7500 kelahiran hidup. Bila trans =misi terjadi pada trimester I
cenderung terjadi abortus, sedangkan bila pada trimester II, terjadi
prematuritas. Selain itu dapat terjadi transmisi pada saat intrapartum atau
pasca partum.
Herpes Genitalis pada
Imunodefisiensi
Herpes genitalis merupakan satu masalah
pada penderita dengan imunodefisiensi, oleh karena kelainan yang ditemukan
cukup progresif berupa ulkus yang dalam di daerah anogenital. Disamping itu
lesi juga lebih luas dibandingkan dengan keadaan biasanya. Pada keadaan
imunodfisiesnsi yang tidak berat didapatkan keluhan rekurensi yang lebih lama.
KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling ditakutkan adalah
akibat penyakit ini pada bayi yang baru lahir. Herpes genitalis pada permulaan
kehamilan bisa menimbulkan abortus/malformasi kongenital berupa mikrosefali.
Pada bayi yang lahir pada ibu yang
menderita herpes genitalis pada kehamilan dapat ditemukan kelainan berupa
hepatitis, infeksi berat, ensefalitis, keratokunjungtivitis, erupsi kulit
berupa vesikel herpetiformis dan bahkan bisa lahir mati.
Pada orang tua, hepatitis karena HSV jarang
ditemukan, sedangkan meningitis dan ensefalitis pernah dilaporkan. Pada orang
tua meningitis hepatika biasanya disebabkan oleh HSV-2 sedangkan ensefalitis
oleh HSV-1. Disamping itu juga ditemukan hipersensitivitas terhadap virus,
sehingga timnul reaksi pada kulit berupa eritema eksudativum multiforme. Dapat
juga timbul ketakutan dan depresi terutama bila terjadi salah penanganan pada
penderita.
3.2. Perasaan Dari Segi Psikologis
Pasien
Perasaan dari segi
psikologis pasien
1. Kemarahan/Marah, rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan
orang lain bahkan kepada Tuhan.
2. Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki
harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam makan,
tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial.
3. Menyalahkan
diri sendiri
4. Ketakutan
5. Berusaha
menyembunyikan penyakitnya dari orang lain.
Masalah psikologis seperti tersebut,
akan sangat memperburuk kondisi dan juga dapat memperburuk sebuah hubungan
seksual pada pasangan suami istri, karena adanya kecemasan. Hal ini
merupakan konsekuensi yang sangat penting secara psikologis perselisihan
seksual dan setiap penghentian dari seks dapat membawa tekanan besar untuk
hubungan yang mengarah ke perpisahan. Situasi tersebut dapat lebih diperparah oleh kebohongan, dalam mayoritas orang
yang menderita herpes genital akan menggunakan alasan untuk tidak berhubungan
seks daripada mengakui kebenaran bahwa mereka dipengaruhi oleh kondisi
tersebut.
3.3.
Peran Perawat dalam Menangani Pasien yang Terserang Herpes
Komunikasi
yang baik dan keterampilan konseling memainkan bagian penting dalam pengelolaan
semua jenis kesulitan pasien, untuk pasien dengan herpes kelamin, atau infeksi
menular seksual lainnya.
Sejumlah penelitian
telah menetapkan pentingnya hubungan antara perawat dan pasien ketika mengelola
dampak psikologis dari herpes genital. Pedoman ini berfokus pada
peran konseling dan komunikasi yang baik dalam manajemen optimal dari pasien
dengan herpes genital.
·
Perspektif
pasien
Tidak mengherankan, ada tingkat yang sangat
tinggi morbiditas psikologis yang terkait dengan herpes kelamin, yang perlu
ditangani ketika mengelola aspek-aspek medis dari penyakit. Bagi banyak orang, diagnosis herpes
kelamin adalah berita terburuk yang pernah mereka terima. Sementara respon
bervariasi, pasien biasanya mengalami kejutan, kemarahan, rasa malu, rasa bersalah
dan ketakutan.
Perhatian utama adalah dampak potensial penyakit yang
akan timbul pada kehidupan. Seperti bagaimana mereka akan memberitahu
teman-teman mereka, keluarga dan pasangan seksual, bagaimana mereka akan
dilihat oleh mereka, apakah mereka akan ditolak, takut menulari orang lain, dan
takut yang pernah dapat hidup "normal" kehidupan, bentuk hubungan
yang langgeng dan memiliki sebuah keluarga.
Banyak orang bahkan takut konsultasi
dengan dokter, khawatir bahwa mereka akan dinilai sebagai kotor atau
promiscuous.
Tujuan konseling
Konseling merupakan bagian integral
dari keberhasilan pengelolaan pasien dengan herpes dan memiliki sejumlah tujuan
yang jelas. Tujuan yang luas adalah jika pasien menerima bahwa herpes
adalah bukan "hukuman" melainkan suatu kondisi medis yang relatif
umum, yang dapat dikelola berhasil untuk meminimalkan dampak negatif pada
kehidupan mereka.
Secara khusus, tujuan konseling adalah:
a) Untuk
menjalin hubungan dengan pasien, sesuai dengan pengobatan, sehingga dari hari
ke hari manajemen pemulihan dapat ditingkatkan
b) Untuk memberikan informasi dan
pendidikan tentang herpes, prevalensi misalnya, transmisi, rekuren, mencegah
infeksi lain, pilihan pengobatan dan jaringan pendukung.
c) Untuk meminimalkan sequela psikologis, yang biasanya
merupakan hasil dari kondisi kronis, termasuk libido berkurang, kehilangan
diri, harga diri rendah dan kecemasan tentang transmisi, rincian kemungkinan
hubungan, depresi dan rasa bersalah yang ekstrim.
d) Untuk membantu proses
menginformasikan mitra pasien.
e)
Untuk tahu kapan untuk merujuk pasien
pada terapi psikologis untuk lebih intensif, dan
f) Mengklarifikasi
isu seputar transmisi yang dapat mempengaruhi hubungan seksual saat ini,
menumpahkan gejala misalnya
Aturan konseling pasien herpes kelamin
1.
Memiliki lingkungan yang tepat
2. Memiliki
sikap yang tepat.
Perawat harus
menunjukkan sikap peduli, meminta pasien membuka, tidak menghakimi pertanyaan
dan bertujuan untuk mengembangkan kepercayaan pasien. Mencoba untuk membayangkan diri anda jika
berada pada posisi seperti pasien dapat membantu untuk membangun empati. Pertimbangkan konsultasi sebagai kesempatan untuk
secara terbuka jelajahi semua masalah-baik yang relevan medis dan
psikologis-sehingga pasien memiliki kesempatan terbaik untuk terlibat dalam
pengambilan keputusan manajemen utama.
Hal
ini penting untuk memiliki keseimbangan antara kebutuhan untuk mendapatkan
fakta-fakta dan memberikan saran dan kebutuhan untuk mengembangkan hubungan
yang terbuka dan saling percaya. Waktu yang memadai harus diberikankan untuk menutupi poin
kunci yang relevan pada konsultasi awal (misalnya berurusan dengan shock
menerima diagnosis atau mengelola gejala-gejala fisik) dengan fakta lain dan
isu yang dibahas pada konsultasi-konsultasi berikutnya.
3. Menyediakan informasi yang tepat
Sebuah
aspek utama dari konseling pasien herpes kelamin misalnya seperti menghilangkan
mitos dan memberikan informasi yang jelas dan akurat tentang sifat dan
pengelolaan penyakit. Ini harus disediakan baik secara
lisan maupun tertulis. Ada beberapa sumber yang tersedia saat ini.
Diantaranya harus mencakup:
·
Sifat
klinis dan sejarah alam dari penyakit (misalnya infeksi, pembentukan latency,
gejala, diagnosa, frekuensi dan keparahan kekambuhan, prodromes, transmisi,
menumpahkan gejala, sifat kronis penyakit dll)
· Pengobatan
pilihan (termasuk pendekatan yang berbeda untuk terapi antivirus);
·
Kemungkinan pemicu dan
cara menghindarinya
· Manajemen
saran gaya hidup (diet, olahraga, stres dll manajemen)
·
Praktik
seks aman dan menghindari transmisi
·
Prevalensi
penyakit (mereka tidak sendirian)
·
Hubungan Herpes dan kehamilan
· Strategi untuk
menginformasikan, dan
·
Pilihan
untuk spesialis / konseling yang sedang berlangsung, kelompok herpes dukungan,
informasi lebih lanjut dll.
4. Mengatakan
dan melakukan hal yang benar
BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah
diuraikan di atas, dapat disimpulkan bahwa banyak sekali faktor-faktor yang
mempengaruhi penyebaran penyakit herpes simpleks. Baik itu dari aspek medis
maupun dari aspek sosial budaya. Seseorang atau pasien yang sedang menderita
penyakit ini akan mengalami dampak psikologis di dalam dirinya, seperti :
1. Kemarahan/Marah, rageful, atau perasaan dendam kepada diri sendiri dan
orang lain bahkan kepada Tuhan.
2. Depresi Merasa sedih, putus asa, dan / atau tak berdaya, dan memiliki
harga diri yang rendah, kadang-kadang disertai oleh perubahan dalam makan,
tidur, kebiasaan olahraga, pekerjaan, dan sosial.
3. Menyalahkan
diri sendiri
4. Ketakutan
dan
5. Berusaha
menyembunyikan penyakitnya dari orang lain.
Oleh karena itu, peran perawat dalam hal
ini memiliki hubungan yang sangat penting. Disamping membantu memberikan
pengobatan, perawat juga bisa membantu memberikan konseling kepada pasien untuk
mengurangi beban psikologis yang dihadapinya. Selain itu perawat juga bisa
memberikan informasi atau penyuluhan kepada masyarakat mengenai bagaimana
penyebaran penyakit Herpes Simpleks ini, juga bahayanya jika di derita oleh ibu
yang sedang hamil. Karena akan menginfeksi pada bayi yang sedang dikandungnya.
Perawat juga bisa memberi informasi mengenai bagaimana cara penanganannya.
Dengan demikian diharapkan penyebaran penyakit ini dapat diminimalisir, dan
akan menambah pengetahuan masyarakat tentang penyakit Herpes Simpleks.
4.2.
Saran
Pemberian
konseling kepada pasien yang menderita penyakit Herpes Simpleks harus perlu
dilakukan perawat untuk mengurangi penyebaran dari penyakit ini.
Kita
sebagai perawat harus memberi penyuluhan kepada masyarakat agar berhati-hati,
karena seorang wanita yang hamil dan menderita penyakit Herpes akan memberikan
dampak kepada bayi yang dikandungnya.
DAFTAR
PUSTAKA
Utama, Hendra. 2007. Infeksi Menular Seksual. Jakarta: Balai
Penerbit FKUI.
Djuanda, Adhi. 2000. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
PUSDIKNAKES. 1997. Aids dan Penanggulangannya. Jakarta:
Studio Driya Media.
Entjang, Indan. 1991. Ilmu Kesehatan Masyarakat. Bandung:
Citra Aditya Bakti.
Shryock,
Harold M.d. 2000. Modern Medical Guide.
U.S.A: Review and Herald Publishing.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar